Pemikiran Politik Kepemimpinan Syiah dan Murjiah


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

              Islam merupakan agama yang rahmatan lil'alamin, Islam dianggap sebagai agama yang paling mulia diantara agama yang lain. Agama yang damai dalam penyebarannya, ini terbukti pada saat awal agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, beliau tidak pernah memaksakan kehendak seseorang untuk ikut masuk Islam. Walaupun penyebarannya yang beraifat damai, bukan berarti tidak ada pertikaian ataupun peperangan pada masa itu. Banyaknya peperangan pada masa itu diakibatkan penolakan atas ajaran yang di bawa oleh Nabi Muhammad dan itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak menyukai Nabi serta para penguasa pada masa itu karena takut akan hilangnya kekuasaan mereka.

          Dengan berjalannya waktu, Islam mulai bisa diterima dikalangan masyarakat, sehingga Islam dapat berkembang pesat. Namun, setelah wafatnya Rasulullah dan kepemimpinan Islam digantikan oleh para khalifah, mulai terjadi pertikaian dan pemberontakan yang disebabkan hal politik. Pertikaian yang paling membawa dampak besar dalam perkembangan Islam yaitu terjadi pada masa kekhalifahan Ustman dan juga Ali yang di dasari oleh persolan politik. Akibat pertikaian ini menyababkan Islam terpecah-belah menjadi beberapa golongan.

                Golongan yang paling berpengaruh setelah pertikaian yang terjadi pada masa Ali yaitu Syiah, khawarij dan murjiah. Syiah adalah golongan yang senantiasa mendukung Ali baik sebelum ataupun sesudah pertikain. Khawarij adalah golongan yang semula mendukung Ali, namun setelah terjadi pertikaian mereka justru memutuskan hubungannya dengan Ali. Murjiah adalah golongan yang berpihak kepada siapapun yang terlibat dalam pertikaian tersebut. 
Dari beberapa golongan yang muncul pada masa itu, memiliki argumen-argumen sendiri dalam hal pemikiran, politik dan juga masalah akhidah. Terkait dengan masalah golingan tersebut, sejarah serta argumen mereka akan dipaparkan lebih jelas dalam pembahasan makalah berikut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Syiah?
2. Apa definisi Murjiah?
3. Kepemimpinan dan pemikiran Syiah dan Murjiah?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi Syiah.
2. Mengetahui definisi Murjiah.
3. Mengetahui kepemimpinan dan pemikiran Syiah dan Murjiah. 









BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi Syiah
     
                   Syi’ah adalah salah satu aliran atau mazhab dalam islam. istilah Syi’ah berasal dari kata bahasa Arab شيعة “Syi’ah”. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syi’i. Syi’ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi’ah Ali artinya pengikut Ali. Syi’ah menurut etimologi bermakna “pembela dan pengikut seseorang.” selain itu juga bermakna “setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara”. 
              
                    Adapun menurut terminologi adalah mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama diantara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum Muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggalnya. Menurut Syahrastani (w. 548 H), terminologi Syi’ah mencakup empat unsur berikut, yaitu: para penolong dan pengikut Imam Ali bin Abi Thalib teks/nash dari Nabi SAW dan wasiat Nabi bahwa khalifah setelahnya adalah Ali bin Abi Thalib bahwa imamah setelah Ali bin Abi Thalib adalah kepada anak-anak dan keturunannya, kecuali lantaran kezaliman atau lantaran perbuatan aniaya dari pihak lain.
   
                  Muslim Syiah percaya bahwa keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syiah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur’an dan Islam. Guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad dan pembawa serta penjaga terpecaya xdari tradisi sunnah. Secara khusus, Muslim Syiah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad. Hal ini berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syiah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung dari Nabi Muhammad dan perintah Beliau berarti wahyu dari Allah.

1. Latar belakang
              Terdapat beberapa teori tentang latar belakang tentang munculnya tasyayyu’ (dukungan) terhadap Ali bin Abi Thalib telah ada pada saat Nabi SAW masih hidup. Tasyayyu kepada Ali bin Abi Thalib ditunjukkan dengan perilaku tafdhil (melebihkan/mengutamakan) Ali bin Abi Thalib atas sahabat-sahabat lainnya, dan  ini terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Pendapat lain menyebutkan bahwa tasyayyu muncul setelah Rasulullah SAW wafat, dan juga pendapat kemunculan Syi’ah berbarengan dengan terjadinya Perang Jamal dan pasca terjadinya tahkim.

                 Teori lain menyebutkan kemunculan Syi’ah terkait dengan persoalan-persoalan politik yang mengiringinya, antara lain: Pertama, Peristiwa Saqifah yang menobatkan Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah dan keterlambatan Ali bin Abi Thalib dalam membaiat Abu Bakar. Kedua, Fitnah yang terjadi pada masa khalifah ketiga itu. Ketiga, Perang Shiffin dan terjadinya tahkim. Keempat, Peristiwa terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala.

             Dari teori-teori diatas sulit untuk memastikan mana yang paling kuat lantaran kesemuanya berkaitan dengan munculnya sikap tasyayyu (keberpihakan) kepada Ali bin Abi Thalib. Menurut Ibrahim Madkour, dugaan kuat munculnya tasyayyu adalah peristiwa Shiffin dan terjadinya tahkim. Ini lantaran pasca peristiwa tersebut mucul dua kelompok yang berseberangan, yaitu kelompok yang keluar dari barisan Ali yang disebut Khawarij dan kelompok yang setia kepada Ali dan membentuk front Ali. Sementara itu dugaan keterlambatan Ali dalam membaiat khalifah Abu Bakar sebagai latar belakang munculnya sikap tasyayyu dapat ditempatkan sebagai bibit yang memicu munculnya front ini. Bagi para pendukung Ali, peristiwa Saqifah menjadi peristiwa krusial yang menandai perampasan hak kekhilafahan Ali oleh Abu Bakar yang didukung para elit saat itu. Disisi ini ada dua pemahaman yang berbeda dimana pihak yang pro-Ali mengklaim ada nash tentang wasiat kepemimpinan setelah Rasulullah SAW yang dialamatkan kepada Ali bin Thalib. Pada sisi yang lain teks tersebut dianggap tidak ada dan hanyalah teks fiktif. Latar belakang ini juga terasa kuat, karena dalam pemahaman dan keyakinan kaum Syi’ah sampai hari ini muncul keberpihakan kepada Ali bin Abi Thalib disamping menegasikan tiga khalifah lainnya. Pada sisi inilah nantinya dapat dipahami munculnya pengikut Ahlul bait dan pengikut lainnya.

                Berdasarkan pada pengertian Syiah tersebut diatas, yang pada intinya adalah kelompok yang mendasarkan paham keagamaan pada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya (ahlul bait), maka benih kelompok Syiah sudah ada sejak terjadi sejak awal kepemimpinan Islam pasca kerasulan Muhammad. Pandangan ini di dukung oleh fakta adanya pertentangan di kalangan para sahabat Nabi dengan Ahlul Bait (keluarga Nabi) setelah kematian Rasulullah Muhammad. Permasalahan yang mereka ketengahkan yaitu tentang siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi setelah wafatnya.

2. Doktrin-doktrin Syi’ah.
Di dalam sekte Syi’ah dikenal konsep Usul Ad-Din. Konsep ini menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Ushuluddin mempunyai lima akar, yaitu sebagai berikut:

a. Tauhid (the devine unity)
             Tuhan adalah Esa, baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah qadim maksudnyatuhan bereksistensi sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh Tuhan. Tuhan Maha Tahu, Maha Mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar, dan bebas berkehendak. Keesaan Tuhan tidak murakkab (tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

b. Keadilan (the devine justice)
                 Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia tidak pernah menghiasi ciptaa –Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan kezaliman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan, sementara tuhan adalah maha tahu dan maha kuasa. Segala macam keburukan dan ketidakmampuan adalah jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan.

                         Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui benar dan salah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indra lainnya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugerah Tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

c. Nubuwwah (apostleship)
          Setiap makhluk di samping telah diberi insting, secara alami juga masih membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus memberikan acuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam keyakinan Syi’ah Itsna Asyariah, Tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.

                   Syi’ah Itsna Asyariah percaya tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak Adam hingga Muhammad, dan tidak ada nabi atau rasul setelah Muhammad. Mereka percaya dengan kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Qur’an jauh dari tahrif, perubahan, atau tambahan.

d. Ma’ad (the last day)
              Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat, setiap muslim harus yakin keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat

e. Imamah (the devine guidance)
                  Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdhah, Syi’ah Itsna Asyariah berpijak pada delapan cabang agama yang disebut dengan furu ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima dari penghasilan, jihad, al-amr bi al-ma’ruf, dan an-nahyu an al-munkar.

3. Sekte-sekte aliran Syiah.
Abu al-Khair al-Baghdadi membagi Syiah dalam 3 kelompok besar yaitu Isna’ ‘Asyariyah, Ismailiyah, dan Zaidiyah. Perpecahan dalam kelompok Syiah itu terjadi lebih disebabkan oleh karena perbedaan prinsip kenyakinan dalam persoalan imamah, yaitu pada pergantian imam.

a. Dua belas Imam.
                      Disebut juga Isna’ Asariyah atau lebih dikenal dengan Imamah atau Ja’fariyah atau kelompok Syiah Imam Dua Belas. Kelompok ini memperccayai pengganti Ja’far ash-Shadiq adalah Musa al-Kadman sebagai Imam ketujuh bukan Ismail saudaranya. Kelompok Syiah inilah yang jumlahnya paling banyak (mayoritas) dari kelompok Syiah yang ada sekarang. Disebut sebagai Syiah Imam dua belas karena kelompok Syiah ini menyakini dua belas secara berurutan yaitu: 
1.A li bin Abi Thalib (600-661), Amirul Mukminin
2.Hasan bin Ali (625-669), Hasan Almujtaba
3.Husain bin Ali (626-680), Husain asysyaid
4.Ali bin Husain (658-713), Ali Zainal Abidin
5.Muhammad bin Ali (676-743), Muhammad Albaqir
6.Jafar bin Muhammad (703-765), Jafar Ashashadiq
7.Musa bin Jafar (703-765), Musa Alkazim
8.Ali bin Musa (765-818), Ali Arrida
9.Muhammad bin Ali (810-835), Muhammad Aljawad
10.Ali bin Muhammad (827-868), Ali Alhadi
11.Hasan bin Ali (846-874), Hasan Alasykari
12.Muhammad bin Hasan (868-), Muhammad Almahdi
Doktrin golongan ini sama dengan doktrin Syiah, yang disebut dengan nama ushuluddin dan furuddin yang berjumlah lima.

b.Ismailiyah. 
                Disebut juga tujuh Imam atau Sab’iah. Istilah Syi’ah sab’iah “Syi’ah Tujuh” dianalogikan dengan Syi’ah Itsna Asyariah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh imam. Tujuh imam itu ialah Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, dan Ismail bin Ja’far. Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash Shadiq, Syi’ah Sabiah disebut juga Syi’ah Ismailiyah. Berbeda dengan Syi’ah Sab’iah, Syi’ah Itsna Asyariah membatalkan Ismail bin Ja’far sebagai imam ketujuh karena di samping Ismail berkebiasaan tidak terpuji juga karena dia wafat (143H/760M) mendahului ayahnya, Ja’far (w.765). Sebagai gantinya adalah Musa Al-Kadzim, adik Ismail. Syi’ah Sab’iah menolak pembatalan diatas berdasarkan sistem pengangkatan imam dalam Syi’ah dan menganggap Ismail tetap sebagai imam ketujuh dan sepeninggalnya diganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Ismail.

                   Doktrin golongan ini, Para pengikut Syi’ah Sab’iah percaya bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijelaskan Al-Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut adalah: Iman, Taharah, Shalat, Zakat, Saum, Menunaikan haji,Jihad.
Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974M) memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, iman kepada surga, iman kepada neraka, iman kepada hari kebangkitan, iman kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.

Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan Syi’ah Sab’iah adalah sebagai berikut:
a. Imam harus dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah yang kemudian dikenal dengan Ahlul Bait.
b. Berbeda dengan aliran Kaisaniah, pengikut Mukhtar Ats-Tsaqafi, mempropagandakan bahwa keimanan harus dari keturunan Ali melalui pernikahannya dengan seorang wanita dari Bani Hanifah dan mempunyai anak yang bernama  Muhammad bin Al-Hanafiyah.
c. Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash. Syi’ah Sab’iah meyakini bahwa setelah nabi wafat Ali menjadi imam berdasarkan penunjukan khusus yang dilakukan Nabi sebelum wafat. Suksesi keimanan menurut doktrin dan tradisi Syi’ah harus berdasarkan nash oleh imam terdahulu. 
d. Keimanan jatuh pada anak tertua. Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa seorang imam memperoleh keimanan dengan jalan wiratsah (heredity) dan seharusnya merupakan anak paling tua. Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paling tua.
e. Imam harus maksun (immunity from sin an error) sebagaimana sekte Syi’ah lainnya, Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa seorang imam harus terjaga dari salah satu dosa. Bahkan, lebih dari itu, Syi’ah Sab’iah berpendapat bahwa jika imam melakukan perbuatan salah, perbuatan itu tidak salah. Keharusan maksum bagi imam dapat ditelusuri dengan pendekatan sejarah. Pada sejarah Iran pra-Islam terdapat ajaran yang menyatakan bahwa raja merupakan keturunan Tuhan atau seorang raja adalah penguasa yang mendapat tetesan Ilahi (Devine Grace) dan dalam bahasa persia adalah Farr-i Izadi. Oleh karena itu, seorang raja harus maksum. 
f. Imam harus dijabat oleh seorang yang paling baik (best of men). Berbeda dengan Zaidah, Syi’ah Sab’iah dua belas tidak membolehkan adanya imam mafdhul. Dalam pandangan Syi’ah Sab’iah, perbuatan dan ucapan imam tidak boleh bertentangan dengan syariat. Seorang imam hampir sama sifat dan kekuasaannya dengan nabi. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa nabi mendapatkan wahyu, sedangkan imam tidak mendapatkannya.

c. Zaidiyah.
                 Imamah sebagaimana telah disebutkan merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah Zaidiah mengembangkan doktrin imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah Zaidiah mengembangkan doktrin imamahyang tipikal. Kaum Zaidiah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.  Telah ditemukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya ditentukan sifat-sifatnya. Ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas sebagai imam setelah nabi wafat karena sifat-sifat itu tidak dimiliki oleh orang lain, selain Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bani Hasyim, wara (saleh menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam.


B. Definisi Murjiah

Kata“Murji’ah” berasal dari kata “arja’a” atau “arja” yang mempunyai beberap   pengertian diantaranya:
  • “Penundaan”, “Mengembalikan” umpamanya bagi orang yang sudah mukmin. Tapi berbuat dosa besar sehinggga matinya belum bertaubat, orang itu hukumanya di Tunda, dikembalikan Urusanya kepada Allah kelak.
  • “Memberi pengharapan”. Yakni bagi orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukum kafir melainkan tetap mukmin dan masih ada harapan untuk memperoleh pengampunan dari Allah.
  • “Menyerahkan” maksudnya menyerahkan segala persoalah tentang siapa yang benar dan siapa yang salah hanya kepada keputusan Allah kelak.

Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa (yakni Ali dan Muawiyah serta pengikut masing-masing) kelak di hari kiamat.

                Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal usul muncul kaum murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah sebagai kelompok politik maupun Teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Yang mana kelompok Murji’ah merupakan musuh berat Khawarij.

              Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Tholib yaitu Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 M. Dengan gerakan politik tersebut Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui ke khalifahan Muawiyah.

                      Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan Arbitrase (Tahkim) atas usulan Amr bin Ash (kaki tangan Muawiyah). Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali disebut Khawarij. Khawarij berpendapat bahwa Tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an atau dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah dikatakan dosa besar dan pelakunya dihukumi dengan kafir sama dengan perbuatan dosa besar lainnya, seperti: berzina, riba, membunuh tanpa alasan, durhaka kepada orang tua, dan menfitnah wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah. Murji’ah mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan diampuni atau tidak.

                    Adapun secara istilah, murjiah adalah kelompok yang mengesampingkan atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang.

Tokoh utama aliran Murji'ah ialah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Salat As-Samman, dan Tsauban Dliror bin 'Umar. Penyair Murji’ah yang terkenal pada pemerintahan Bani Umayah ialah Tsabit bin Quthanah, mengarang syair kepercayaan-kepercayaan kaum Murji’ah.

Ciri-ciri faham Murji’ah, diantaranya adalah : 
1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.

1. Latar belakang Sejarah berdirinya Kaum Murji’ah.
         Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijrah. Dinamakan “Murji’ah” karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai matinya, orang itu belum dapat dihukumi sekarang. Ketentuan persoalannya ditunda atau dikembalikan terserah kepada Allah di hari akhir nanti.

               Lahirnya aliran Murji’ah disebabkan oleh kemelut politik setelah meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan, yang di ikuti oleh kerusuhan dan pertumpahan darah. Kemelut polotik itu berlanjut dengan terbunuhnya Khalifah Ali yang diikuti pula kerusuhan dan pertumpahan darah. Di saat-saat demikian, lahirlah aliran Syi’ah dan aliran Khawarij. Syi’ah menentang Bani Umayah karena membela Ali dan Bani Umayyah dianggap sebagai penghianat, mengambil alih kekuasaan dengan cara penipuan.

               Di antara Syi’ah dan Khawarij di satu pihak dan Bani Umayyah di pihak lain yang saling bermusuhan dan menumpahkan darah itu, tampillah segolongan yang di sebut Murji’ah.
Seperti halnya lahirnya aliran Khawarij, demikian juga halnya munculnya aliran Murji’ah adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu pusat pemerintahan Islam pindah ke Damaskus. Maka mulai kurang taatnya beragama kalangan penguasa Bani Umauyyah, berbeda dengan Khulafur-Rasyidin. Tingkah laku pengusa tampak semakin kejam. Sementara ummat Islam bersikap diam saja.  Timbul persoalan: “Bolehkah ummat Islam berdiam saja dan wajibkah kepada khalifah yang dianggapnyazalim?”.

                 Orang-orang murjiah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat di belakang seorang yang sholeh ataupun di belakang orang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu terserah kepada Allah. Soal ini mereka tangguhkan dan karena itu pulalah mereka dinamakan golongan Murji’ah yang yang berarti melambatkan atau menagguhkan tentang balasan Allah sampai nanti.

                  Dipandang dari sisi politik, pendapat golongan Murji’ah memang menguntungkan penguasa Bani Umayyah. Sebab dengan demikian berarti membendung kemungkinan terjadinya pemberontakan terhadap  Bani Umayyah sekalipun khalifah dan pembantu-pembantunya itu kejam, toh mereka itu muslim juga. Pendapat ini berbeda dengan pendirian golongan khawarij yang mengatakan bahwa berbuat zalim, berdosa besar itu adalah kafir.

             Pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab beberapa daerah takluk ke dalam kekuasaannya. Syria jatuh pada tahun 638 M, disusul Mesir pada 641M, lalu Persia 642 M jatuh ketangan ummat Islam. Berarti ada tiga kerajaan besar dengan kekayaan yang cukup dan tinggi peradabanya, masuk kedalam kekuasaan Islam. Masing-masing daerah ini menjadi wilayah gubernur dengan pusat pemerintahan tetap di Madinah. Masing-masing daerah diperintah seorang gubernur.

Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan. Bahwa meluasnya wilayah Islam ke tiga daerah tersebut:
Pertama, penduduk dari wilayah Persia, Syria dan Mesir itu masing-masing telah mengenal peradaban dan agama-agama lama seperti peradaban agama-agama Mesir, Babilon, Persia, Yahudi dan Nasrani juga peradaban keagamaan dan filsafat Yunani (Hellenisme dan Platonisme). Pengaruh Yunani terutama menjadi makin tampak disebabkan imperium Romawi Timur telah berabad-abad memerintah Syria dan Mesir, takala Khalifah Umar membebaskanya.

Kedua, setelah daerah-daerah ini masuk imperium Islam banyaklah penduduk-penduduk daerah itu yang menukar agamanya kepada Islam baik dengan jalan perkawinan ataupun dengan jalan pelajaran semata-mata. Hal ini terjadi dengan pesatnya terutama disebabkan pada zaman itu rakyat umum telah biasa untuk menuruti sikap pemimpin-pemimpinnya. Apalagi raja-rajanya, panglima-panglimanya atau pendeta dan orang-orang kayanya masuk Islam, maka mereka pun  masuk Islamlah pula.

              Ke dua hal di atas tentu saja terpengaruh pada jalan pikiran umat Islam umumnya, sebab umat islam yang baru ini (rakyat-rakyat Persia, Mesir dan Syria) telah membaea  pula peradabannya dan cara-cara pemikiranya ke dalam tubuh masyarakat Islam sendiri.
Dan ini menjadi persoalanya baru pula di kalangan umat Islam. Harus diperiksa (diseleksi) manakala dari peradaban dan pemikiran itu sesuai dan dapat diterima Islam, dan mana pula yang bebeda, bertentangan dan di tolak oleh agama Islam.

                    Untuk itu terjadilah pertukaran pikiran di antara mereka. Dan dari sini timbullah perselisihan-perselisihan pendapat. Kalau dalam tubuh umat Islam Arab sendiri telah timbul benih-benih pembahasan dan perselisihan pendapat tentang soal-soal pemikiran (filsafat) keagamaan (soal qaddar Tuhan) maka dengan pembahasan-pembahasan baru ini menjadilah dunia pembahasan itu bertambah besar dan meluas. Melihat baik dilihat pada lingkungannya ataupun dilihat pada unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.

2. Doktrin Murjiah.
          Doktrin-doktrin aliran Murjiah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam Murjiah dan dalam sikap netralnya. Pandangan nertral tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata arjaa, yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan, dan memberi pengharapan. Menangguhkan berarti menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni Tuhan mau memaafkan , dia akan langsung surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya. 

             Istilah memberi harapan mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang Mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka berharap bahwa seorang Mukmin yang melakukan masih dikatakan Mukmin.

Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murjiah memiliki empat ajaran pokok yaitu:
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asyari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang Muslim yang berdosa besar.
3. Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.
4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang bersosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

3. Sekte-Sekte Murji’ah
Secara garis besar aliran Murji’ah terbagi ke dalam 2 sekte yaitu al-Murji’ah moderat dan al-Murji’ah ekstrem.

a. Al-Murji’ah moderat disebut juga al-Murji’ah al-Sunnah yang pada umum terdiri dari para fuquha dan muhditsin. Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, dia akan dihukum dalam neraka sesuai dosa yang telah diperbuatnya dan kemungkinan Allah SWT bisa mengampuni dosanya. Dengan demikian, Murji’ah moderat masih mengakui keberadaan amal perbuatan dan mengakui pentingnya amal perbutan manusia, meskipun bukan bagian dari iman. Yang termasuk golongan al-Murji’ah moderat, di antaranya al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Tholib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.

b. Golongan al-Murji’ah yang eksterm adalah mereka yang secara berlebihan melakukan pemisahan antara iman dan amal perbuatan Mereka menghargai iman terlalu berlebihan dan merendahkan amal perbuatan tanpa perhitungan sama sekali. Amal perbutan tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman hanya berkaitan dengan Tuhan dan hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, selagi orang beriman, perbuatan apapun tidak dapat merusak imanya sehingga tidak menyebabkan kafirnya seseoarang.Adapun yang termasuk al-Murji’ah eksterm sebagai berikut:
1. Golongan al-Jahmiyah
Golongan ini merupakan para pengikut Jahm bin Safwan. Mereka berpandangan bahwa orang yang percaya keada tuhan kemudian menyatakan kekufurannya, secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2. Golongan al-Sahiliyah
Golongan ini merupakan pengikut Abu Hasan al-Salahi. Iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan, dan sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa da haji bukanlah ibadah melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3. Golongan al-Yunusiyah
Golongan ini merupakan pengikut Yunus bin Aun al-Numairi. Melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.
4. Golongan al-Ubaidiyah
Pengikut dari Ubaid al-Muktaib. Berpendirian sebagaimana al-Yunusiyah dengan menambahkan jika sesorang mati dalam iman, dosa-dosa, dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidak merugikan bagi yang bersangkutan.
5. Golongan al-Ghozaniyah
Pengikut Ghassan al-Kuffi, berpendirian bahwa iman adalah mengenal Allah SWT dan Rosul-Nya serta mengakui apa-apa yang diturunkan Allah SWT dan yang dibawa Rosul-Nya.


C. Kepemimpinan dan pemikiran Syiah dan Murjiah

Pemikiran politik Syiah

1. Pandangan tentang imamah
                   Golongan ini berpegang teguh pada kepercayaan bahwa yang paling berhak untuk menjadi pemimpin baik dalam Islam maupun pemerintahan adalah keturunan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Yang lebih parah lagi anggapan yang ada pada golongan ini adalah menolak akan kepemimpinan pada masa khalifah Abu Bakar. Ini terjadi karena fanatisme pengikut dari Ali bin Abi Thalib.

2. Munculnya tasyayyu’
                       Tasyayyu (dukungan) kepada Ali bin Abi Thalib ditunjukkan dengan perilaku tafdhil (melebihkan/mengutamakan) Ali bin Abi Thalib atas sahabat-sahabat lainnya, dan  ini terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Pendapat lain menyebutkan bahwa tasyayyu muncul setelah Rasulullah SAW wafat, dan juga pendapat kemunculan Syi’ah berbarengan dengan terjadinya Perang Jamal dan pasca terjadinya tahkim. Disisi ini ada dua pemahaman yang berbeda dimana pihak yang pro-Ali mengklaim ada nash tentang wasiat kepemimpinan setelah Rasulullah SAW yang dialamatkan kepada Ali bin Thalib. Pada sisi yang lain teks tersebut dianggap tidak ada dan hanyalah teks fiktif. Latar belakang ini juga terasa kuat, karena dalam pemahaman dan keyakinan kaum Syi’ah sampai hari ini muncul keberpihakan kepada Ali bin Abi Thalib disamping menegasikan tiga khalifah lainnya. Pada sisi inilah nantinya dapat dipahami munculnya pengikut Ahlul bait dan pengikut lainnya.


Pemikiran Politik Mur’jiah

1. Maksiat Tidak Membahayakan Iman
                      Doktrin Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan para ulama yang berpihak kepada penguasa dalam sistem monarki dinasti Umayyah. Sejarah menyebut kemunculan dinasti Umayyah yang berbentuk alternatif dari lenyapnya sistem Khalifah. Dalam pada ini, para ulama merumuskan konsep keimanan dengan “pembenaran dengan hati dan pernyataan dengan lisan saja”. Para penganut doktrin ini tidak memasukkan amal dari bagian makna iman. Mereka berpendapat bahwa iman hanyalah pembenaran dengan hati dan pernyataan dengan lisan, dan karena kemanksiatan tidak akan membahayakan iman. Barangsiapa yang mengucapkan kalimat syahdat ‘laa ilaaha illallah’ kami hukumi islam, tanpa peduli apa yang ia katakan atau perbuat setelahnya.

                  Konsep keimanan seperti ini dipandang mengesampingkan semua kaidah nawaqidhul iman (hal-hal yang membatalkan iman) yang diterangkan oleh Al-Qur’an, Sunah, dan pendapat-pendapat fuqaha yang terpercaya. Itulah sebabnya, konsep keimanan yang dibangun oleh mereka dipandang bertentangan dengan apa-apa yang dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunah. Tentunya, konsep keimanan seperti ini memeberikan pijakan yang kukuh bagi bangunan politik yang diusung oleh dinasti yang berkuasa saat itu.

2. Relasi Makna Iman dan Politik
                  Dari pemaknaan iman yang digagas kaum Murjiah ( yang tidak memasukkan amal sebagai bagian dari iman dan hanya cukup dengan hati dan lisan saja), maka konsep ini berimplikasi kepada teori politik mereka yang cenderung akomodatif dengan para penguasa. Tidak mengeherankan apabila konsep politik kaum Murji’ah sangat disukai oleh para penguasa, dan banyak para ulama yang merapat serta memback-up penguasa saat itu.
               
                Murjiah adalah agama yang menyesuaikan dengan para raja. Para fuqaha kerajaan mengambil doktrin tersebut hingga para ulama mengistilahkan mazhab Murji’ah sebagai agama (keyakinan) yang disuaki para raja. Menurut mazhab Murji’ah, para penguasa tetaplah muslim, mereka waliyyul amr (pemegang urusan kita) yang berhak ditaati, walaupun mereka merampas harta dan mencabuk punggung kita. Dan mereka tetplah muslim meskipun telah mengambil harta rakyat dan mencabukpunggung.

                      Fuqaha kerajaan itu lebih melonggarkan lagi kepada mereka dengan tambahan, walaupun para penguasa melecehkan harga diri dan menumpahkan darah kita, rakyat harus tetap ridha kepada para penguasa itu. Sekalipun, para penguasa itu telah terang-terangan mengatakan ketidakcocokan dengan hukum syariah atau mereka mengangkat pelindung dari musuh-musuh Allah. Walau mereka berperang dan memberangkatkan tentara untuk berperang dibawah panji-panji Yahudi dan Nasrani untuk membunuh Muslimin.

              Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada tiga aliran kalam yang memiliki kaitan erat dengan konsep politik, yakni Khawarij, Syiah dan Murjiah. Yang disebut menjadi aliran kalam yang melakukan perbuatan makar dengan “keluar” dari kepemimpinan yang sah dan kemudian melakukan beberapa kegiatan makar dengan mengatasnamakan Al-Qur’an.

               Mereka dengan mudah menafsirkan Al-Qur’an demi tujuan politiknya dan karenanya kalangan Khawarij ini dipandang memiliki pemahaman keagamaan yang dangkal dan mengedepankan nafsu untuk menafsirkan Al-Qur’an
         
            Aliran Syiah adalah kelompok yang menjadi antitesis dari kelompok pertama. Kaum syiah dengan pandangan politik mengusung “kecintaan kepada  Ahl al-Bayt” sebagai landasan epistemilogisnya, yang berarti pijakan dasar mereka adalah “pembelaan” kepada keluarga Nabi Muhammad SAW. Kaum syiah dengan landasan ini membangun kerajaan politik dengan berbagai  versi  seperti  kerajaan dengan  12 imam, tujuh imam dan lima imam. Semuanya menegaskan pentingnya garis politik kepada keluarga Ahl al-Bayt. Kerajaan politik syiah dengan mengusung konsep imam yang ma’sum telah memberikan spirit yang luar biasa dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban.

                         Apapun yang disebut terakhir lebih mkenunjukan keterlibatan politiknya sebagai gambaran politik akomodatif. Kaum murji’ah memaknai iman dengan “tidak memasukkan amal sebagai bagian dari iman dan hanya cukup dengan hati dan lisan saja”. Konsep “iman” seperti ini berimplikasi erat kepada doktrin politik mereka yang cerderung akomodatif dengan para penguasa. Tidak mengherankan apabila konsep politik kaum Murjiah sangat disuaki oleh para penguasa dan banyak para ulama yang merapat serta memback-up penguasa saat itu.

Kepemimpinan Syi’ah
                     Kelompok Syi’ah dalam hal kepemimpinan membedakan pengertian antara Khalifah dan Imamah. Hal ini dapat dilihat bedasarkan fakta sejarah kepemimpinan dalam Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Kelompok Syi’ah sepakat bahwa pengertia Imam dan Khalifah itu sama ketika Ali bin Abi Tholib di angkat menjadi pemimpin. Namun sebelum Ali menjadi pemimpin mereka membedakan pengertian Imama dan Khalifah. Abu Bakar, Umar bin Khatttab, dan Utsman bin Affah Khalifah, namun mereka bukanlah Imam.

               Bagi kelompok Syi’ah sikap Imam haruslah mulia sehingga menjadi panutan para pengikutnya. Imamah di definisikan sebagai kepemimpinan masyrakat umum, yakni seseorang yang mengurusi persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah SAW, Khalifah Rasulullah SAW yang memelihara agama dan menjaga, kemuliaan umat dan wajib di patuhi serta di ikuti. Imam mengandung makna lebih sacral dari pada khalifah.

             Secara implist kaum Syi’ah meyakini bahwa khalifah hanya melingkupi ranah jabatan politik saja, tidak melingkupi ranah spiritual keagamaan. Sedangkan  Imamah melingkupi seluruh ranah kehidupan manusia baik agama dan politik


BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

                      Dari materi yang telah di uraikan sebelumnya, kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga karena menambah pengetahuan kita tentang sejarah Islam. Sejarah yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib serta sepeninggal beliau yang menyebabkan timbulnya berbagai golongan dengan pemikiran dan argumennya sendiri-sendiri.

                Puncak dari timbulnya golongan-golongan tersebut adalah setelah adanya perselisiha antara Ali dan Muawiyah serta adanya tahkim dalam penyelesaian perselisihan masalah tersebut. Golongan yang senantiasa mendukung Ali baik sebelum adanya pertikaian ataupun setelah adanya tahkim disebut dengan golonga  Syiah. Golongan yang semula mendukung Ali sekaligus menyarankan beliau untuk menyetujui tawaran tahkim dari Umayyah, namun setelah terjadinya tahkim tersebut mereka justru memisahkan diri dari Ali, golongan ini disebut Khawarij. Dan golongan yang muncul akibat terjadinya tahkim tersebut adalah golongan Murjiah, dimana mereka tidak memihak kepada salah satu di antara Ali dan Muawiyah dan tidak mau berpendapat tentang kehadian tersebut.

                Golongan Syiah selalu menganggap apa yang dilakukan oleh Ali adala yang paling benar dan yang berhak menjadi pemimpin adalah keturunan dari Ali. Dan mereka menganggap bahwa semua keturunan Ali adalah suci. Sedangkan golongan Khawarij, mereka tidak membenarkan ataupun menyalahkan atas apa yang telah terjadi pada Ali dan Muawiyah. Golongan ini berpendapat bahwa jika seseorang melakukan dosa besar sedang dia masih iman kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak dihukumi kafir, namun untuk hukuman atas dosa besar itu di tangguhkan hingga hari akhir nanti dan yang berhak akan hal tersebut adalah Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Rozak, Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam/Ilmu Kalam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam.
Asrohah, Hanun. Ilmu Kalam. Surabaya: CV. Mutiara Ilmu 2010.
Hasim, Moh. “Syiah: Sejarah Timbul Dan Perkembangannya Di Indonesia”, Its History And Development In Indonesia, 02 (Desember 2012).
Wiyani, Hardy. Ilmu Kalam, (Bumiayu:Teras) 
Nasir, Sahilun A, Pemikiran Kalam(Teologi Islam). Jakarta: Rajawali pers, 2010
Nurdin, M. Amin. Sejarah Pemikiran Isalm. Jakarta: Teruna Grafika, 2011

Tidak ada komentar untuk "Pemikiran Politik Kepemimpinan Syiah dan Murjiah"