Kepribadian dalam Perspektif Hadits
“KEPRIBADIAN DALAM PERSPEKTIF HADIST”
Disampaikan pada mata kuliah
Hadist Psikologi
Dosen Pengampu :
Kholila Mukaromah S.Th.I.,
M.Hum
Disusun Oleh :
1. Anis Nur Kholifah (933412417)
2. Khisna Nihayatun Najmi (933412517)
3. RensiaPutri Maulina (933412717)
4. Alma Herlambang (933413117)
JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN ILMU SOSIAL IAIN KEDIRI
TAHUN 2018
PENDAHULUAN
Islam
merupakan agama yang santun karena dalam islam sangat menjunjung tinggi
pentingnya etika, moral, dan akhlak mulia pada pribadi manusia. Kepribadian
yang baik, dengan segala macam bentuknya sangat kita perlukan di setiap tempat
dan waktu: dalam hubungan kita dengan Allah. Dengan hubungan kita kepada diri
kita, dan dalam hubungan kita dengan masyarakat. Kita semua mempunyai akhlak
dan perilaku yang baik di dalam hidup, dan memperoleh ganjaran yang baik di
akhirat kelak.
Adapun
pertanyaan bagaimana kita menerapkan perangai dan tingkah laku yang baik di
dalam kehidupan kita, maka jawabanya adalah bahwa yang menjadi landasan kita
dalam hal ini adalah akal (hikmah), yaitu dengan menggunakannya pada jalan yang
benar; kemudian agama yaitu dengan berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya; dan
juga akhlak dan kesopanan.
Kepribadian
merupakan salah satu kajian psikologi yang membahas tentang tingkah laku
manusia. Beberapa ahli psikologi memberikan asumsi tentang prilaku manusia
tersebut sehingga muncul beberapa teori yang menjadi dasar dalam tingkah laku
manusia. Beberapa temuan para ahli yang semakin beragam sehingga menjadikan
teori yang beragam pula. Keberagaman teori terebut didasarkan pada aspek
personal, kehidupan beragama, lingkungan social budaya, serta filsafat yang
dianut.
Pada
makalah ini akan mengupas berbagai kumpulan kaidah dan juga pandangan mengenai
kepribadian seseorang yang bersumber dari Al-Qur’an, dan Hadits.
PEMBAHASAN
Para
psikologi modern telah melakukan riset hingga menghasilkan teori yang dapat di
jadikan sebagai standar untuk memahami kepribadian manusia. Namun, sampai
sekarang mereka tidak sepakat dengan teori umum yang di terima oleh semua
kalangan dalam memahami kepribadian manusia. hal ini karena mayoritas dari
psikologi modern menilai dengan sudut pandang mereka mengenai manusia, dan
perhatiannya berpusat pada sisi manusia tertentu. Akibatnya mereka membuat
teori berdasarkan studi dan riset yang berfokus pada sisi perilaku manusia yang
menurut mereka telah di kaji dengan metodologi riset ilmiah yang objektif.
Kajian yang mereka hasilkan yaitu banyak manusia yang bersifat dangkal, dan
hasil tersebut mudah di patahkan melalui metode eksperimen ilmiah.
Hal
ini di sebabkan kajian yang mereka lakukan sering melupakan sisi perilaku
manusia yang signifikan dan substansial, yakni aspek spiritualitas manusia.
oleh karena itu, penting untuk di catat bahwa kita harus melihat sisi
spiritualitas manusia dengan metodologi tertentu yang berbeda dengan kajian
yang dilakukan oleh psikologi modern. Untuk mempermudah, maka kita harus
memanfaatkan keterangan (teks) yang banyak di sinyalir dalam agama langit
(samawi) maupun keterangan yang di sampaikan oleh para Nabi dan Rasul mengenai
hakikat manusia.
Allah SWT berfirman:
اَ لَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ ۗ
وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْر
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak
mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha
Mengetahui?” (Q.S. Al-Mulk [67] : 14)
Keterangan
Alqur’an banyak menyinggung tentang hakikat yang berhubungan dengan pembentukan
manusia, sifat kepribadiannya, faktor yang memengaruhi, dan penyebab
penyelewengan atau penyimpangannya, sekaligus cara mengobati dan
mengarahkannya. Di samping Alqur’an, hadits Rasulullah SAW banyak memuat
informasi mengenai watak dan kesiapan alamiah manusia, faktor yang memengaruhi
perilaku manusia, penyebab penyelewengan dan fitrahnya, cara meluruskan dan
menjaga penyelewengan, serta hal lain yang menyangkut hakikat kepribadian
manusia.
1. Fitrah Manusia
Alqur’an menginformasikan kepada kita mengenai bagaimana Allah SWT
menciptakan manusia. Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS dari tanah liat,
kemudian meniupkan roh-Nya ke dalam diri Nabi Adam AS.
Allah SWT berfirman:
اذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ خَالِـقٌ ۢ بَشَرًا
مِّنْ طِيْنٍ
فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” Maka apabila
telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku, maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (Q.S. As-Shad [88] : 71-72).
Hadits
Rasulullah SAW juga menyebutkan proses penciptaan manusia yang berasal dari
materi dan roh. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَع خَلْقُهُ فِي بَطْنِ اُمِّهِ اَرْبَعِيْنَ
يَوْمًا نُطْفَةْ, ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَهْ مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ يَكُوْنُ
مُضْغَةْ مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ يُرْسِلُ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ .
. . الحديث
“Proses penciptaan kalian semua dalam perut
ibunya selama empat puluh hari berupa air mani (nutfah), kemudian menjadi
segumpal darah, kemudian berubah menjadi segumpal daging. Lalu malaikat diutus
untuk meniupkan roh di dalamnya.”
Hadits
ini mengisyaratkan bahwa penciptaan manusia terjadi dari susunan antara sifat
materi dan roh, serta antara sifat hewan dan malaikat. Disamping itu juga
kebutuhan dan motivasi raga yang bersifat alamiah untuk keberlangsungan hidup
dan kelestarian jenis dengan kebutuhan dan motivasi spiritual untuk mencapai
ketinggian jiwa dan kesempurnaan dirinya. Ketinggian jiwa ini dapat di capai
oleh siapa saja karena hal ini merupakan anugrah dari Allah SWT kepada semua
makhluk-Nya yang dinobatkan-Nya sebagai wakil-Nya di muka bumi.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
مَا مِنْ
مَوْلُوْدِ إِلَّ يُوْلَدُ عَلَي الْفِطْرَةِ, فَأَبَوَاهُ يُهَوَّدَانِهِ
وَيُنَصْرَانِهِ وَيُمَجَّسَانِهِ . . . الحديث
“Tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali
dengan kecenderungan alamiahnya (fitrah). Maka orang tuanyalah yang membuat
anak manusia itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Fitrah
atau kecenderungan alamiah ini perlu ditumbuh-kembangkan melalui proses
pendidikan, pengarahan, dan pembelajaran. Hal ini di sebabkan karena anak yang
masih di bawah umur mudah di pengaruhi oleh lingkungan buruk yang dapat
mengakibatkan kecenderungan alamiahnya mengalami penyimpangan, bahkan berujung
pada terbentuknya cara pandang dan perilaku yang tidak baik. Oleh karena itu,
perkataan Rasulullah SAW: “Tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali dengan
kecenderungan alamiahnya” dapat dipahami bahwa setiap anak dilahirkan tidak
bisa berubah dari kecenderungan alamiahnya. Perkataan Rasulullah SAW tersebut
mengandung unsur keterpengaruhan dari pihak keluarga serta faktor sosial dan
budaya yang melingkupi kehidupan anak. Hal ini dapat dilihat pada keterangan
hadits yang menunjukkan bahwa orang tua dapat mengarahkan atau memengaruhi
anaknya untuk memeluk agama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Rasulullah
SAW telah meriwayatkan:
إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاء كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أتَتْهُمْ
الشَّيَاطِيْن فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ . . . الحديث
“sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-Ku
menjadi orang yang lurus semuanya, akan tetapi setan itu memalingkan mereka
dari agamanya.”
Dengan
adanya fitrah atau kecenderungan alamiah, maka manusia dapat memilih dan
memilah antara kebenaran dan kesalahan serta antara kebaikan dan keburukan.
Kecenderungan ini pun diiringi dengan kebebasan berkehendak yang merupakan
anugerah dari Allah SWT agar memilih jalan kebaikan atau keburukan
Alloh SWT berfirman:
وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِ
“dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua
jalan.” (Q.S. Al balad ayat 10)
Firman Allah SWT:
اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا
“sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan
yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al-Insan:3)
Rasulullah SAW bersabda:
أِنّ
الْحَلَ لَ بَيِّنُ وَ الْحَرَامُ بَيّنٌ . . . الحديث
“sesungguhnya perkara yang halal itu sudah
jelas dan perkara yang haram itu juga jelas.”
Dengan
kecenderungan alamiah, manusia sebenarnya dapat mengetahui sesuatu yang halal
dan haram, benar dan salah, kebaikan dan keburukan, serta keutamaan dan
kehinaan.
Diriwayatkan
dari Waishah bin Ma’bad RA, ia berkata: ketika aku berkunjung kepada Rasulullah
SAW, beliau bertanya: “Apakah engkau datang untuk menanyakan hal kebaikan?” Aku
menjawab, “Benar.” Rasulullah SAW berkata: “Aku berharap agar hatimu berbicara,
kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati (seseorang) merasa
tenang dan damai. Adapun keburukan (perbuatan dosa) adalah sesuatu yang meresahkan
jiwa dan meragukan hati. Jika engkau berbuat kebaikan, maka orang lain pun akan
berbuat hal yang baik.”
Dengan
kecenderungan alamiah manusia cenderung berbuat kebaikan yang dapat
menentramkan jiwanya. Jika jiwa manusia ragu atau ingin melakukan perbuatan
dosa (hal keburukan), maka ia akan merasakan keresahan dan tidak tenang.
Selanjutnya ia tidak mengetahui apa yang terbesit dalam hatinya atau
perbuatannya. Oleh karenanya, jiwa itu merupakan fitrah yang setiap gerakannya
memiliki akibat pada hal yang terpuji, sekalipun fitrah ini dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik jika di topang oleh pendidikan yang benar.
وَنَفْسٍ وَّمَا
سَوّٰٮهَا
(8) فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰٮهَا(7)
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ
زَكّٰٮهَا (10) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰٮهَا(9)
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10)
2. Keseimbangan
Kepribadian
Setiap jiwa dan raga manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Raga,
misalnya membutuhkan makanan, air, istirahat, menghindari rasa panas, dingin,
atau sakit. Raga juga membutuhkan belaian dari jenis yang lain dan kebutuhan
lain yang harus dipenuhi untuk keberlangsungan hidup dan kelestarian jenisnya.
Jiwa pun memiliki kebutuhan misalnya, jiwa cenderung ingin mengenal Tuhannya,
mengabdikan diri, atau mendekatkan diri dengan penuh kepasrahan, kesetiaan,dan
perbuatan yang baik.
Namun, antara kebutuhan yang menjadi tuntutan jiwa dan raga ini manusia
kadang tidak mampu menyeimbangkan antara keduanya secara proporsional. Manusia
cenderung memenuhi motivasi raganya dengan mereguk kelezatan dan menikmati
keindahan dunia secara berlebihan sehingga lupa memenuhi kebutuhan jiwanya.
Manusia juga kadang berlebihan dalam memenuhi kebutuhan jiwanya (spiritualitas)
sehingga kebutuhan raganya terabaikan. Sikap seperti ini mengakibatkan
kecenderungan alamiah manusia akan mengalami penyimpangan. Sebagai
konsekuensinya, kepribadian manusia pun akan mengalami ketidakseimbangan.
Islam menekankan keseimbangan antara sisi material dan spiritualitas
manusia. penekanan ini sesuai dengan watak dan kecenderungan alamiah manusia
yang selalu berusaha mengenal jati dirinya. Perhatian islam terhadap
keseimbangan antara jiwa dan raga ini terbukti bahwa islam menetapkan sebagian
ajaran pokoknya untuk boleh ditinggalkan jika dari segi pelaksanaannya
membahayakan jiwa dan raga seseorang. Islam membolehkan umatnya untuk
meninggalkan ibadah puasa wajib jika sedang dalam kondisi sakit atau sedang
dalam perjalanan jauh yang melelahkan. Dalam berwudhu pun, seseorang jika
menggunakan air dapat membahayakan kesehatannya, maka ia boleh menggantinya
dengan cara bertayamum.
Islam beranggapan bahwa segala macam aktivitas hidup manusia ialah sebagai
penghambaan diri (beribadah) kepada Tuhannya. Oleh karenanya, siapa saja yang
berusaha mencari nafkah untuk orang tua, istri, dan anak-anaknya, maka sama
halnya dengan ia beribadah atau berada di jalan Allah SWT. Seseorang yang
sedang mencari nafkah tersebut harus memenuhi kebutuhan raga yang bersifat
material dan kebutuhan spiritualnya.
Pada suatu ketika Rasulullah SAW pernah duduk bersama para sahabatnya.
Mereka melihat seorang pemuda yang kekar dan kuat keluar di pagi hari untuk
bekerja. Mereka lalu berkata: “celakalah pemuda itu jika kepemudaan dan
kekekarannya tidak berada di jalan Allah SWT.” Rasulullah SAW lalu berkata:
“janganlah kalian berkata seperti itu, sebab ia bekerja untuk dirinya, maka ia
telah memecahkan masalahnya dan tidak menjadi beban bagi orang lain.
Sesungguhnya ia berada di jalan Allah SWT. Jika dia bekerja untuk mencukupi
kedua orang tua atau saudaranya yang lemah, maka ia berada di jalan Allah SWT.
Namun, jika ia bekerja untuk meraih kesombongan dan berusaha menumpuk hasilnya,
maka ia berada di jalan setan.
3. Perbedaan
individual
Setiap manusia pasti memiliki banyak perbedaan yang
bersifat individual dalam dirinya. Perbedaan individual tersebut, misalnya,
warna kulit, cara berbicara, kemampuan fisik, intelektualitas, kemampuan
belajar, dan ciri kepribadiannya. Sejak daahulu para pemikir berusaha
mengungkap perbedaan individual tersebut. Para psikolog modern telah membuat
stansdar untuk memahami kepribadian manusia untuk tujuan pendidikan dan
profesionalitas. Kalau perbedaan individual diketahui, amak masing-masing
individu tersebut dapat diarahkan pada suatu profesi yang sesuai dengan
keampuan yang dimilikinya. Sehingga setiap individu dapat bekerja sesuai dengan
kemapuan atau kemahirna yang dimilikinya. Al-quran telah mengisyaratkan
perbedaan individual antarmanusia, baik yang menyangkut perbedaan kecenderungan
alamiah dan watak keturunan maupun perbedaan yang bersifat proses atau hasil
penciptaan.
Alloh SWT berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْ ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah
penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu, dan warna kulitmu. Sungguh,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui."
Rasululloh bersabda:
اِنَّ
اللّه تَعَالىَ خَلَقَ اَدَمَ مِنْ قَبْضَةٍ قَبْضَھَا مِنْ جَمِيْعِ الاَرْضِ،
فَجَاءَ بَنُوْ اَدَمَ عَلَى قَدْرِ الْأرْضِ،
فَجَاء َ ِمنْھُمْ اَلْأَحْمَر والْأَسْوَد وَبَيْنَ ذَلِكَ، وَالسَّھْلُ وَالْحَزَنُ والطَّيِّبُ
“sesungguhnya Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS dari
genggaman tanah (Bumi) yang dicengkeram oleh Alloh SWT. Lantas anak-anak Nabi
Adam AS itu diciptakan dari bahan Bumi, terciptalah mereka dengan berbagai
warna kulit, ada yang merah, putih, hitam dan campuran diantara warna tersebut.
Adapula yang berwajah ceria,sedih,jelek, dan menarik.
Hadis ini
mengisyaratkan perbedaan manusia dari segi warna kulit, karakter, dan moralnya
sebagaimana bumi memiliki warna dan bentuk kawasan yang berbeda-beda. Perbedaan
ini pun terdapat dalam diri manusia. Dari segi warna kulit, manusia ada yang
baik dan mudah bergaul, ada pula yang buruk dan sulit bergaul. Perbedaan warna,
karakter atau kesiapan alami pada tingkat emosional manusia merupakan perbedaan
penciptaan yang berasal dari perbedaan strukur badan. Kajian modern
mengungkapkan adanya perbedaan anatomi pada kulit manusia yang disebabkan oleh
perbedaan warna kulit mereka. Begitu pula dengan warna kulit anak yang
disebabkan oleh hukum genetika.
Pernyataan ini pernah disampaikan oleh Mendel.
Adapun kajian modern yang dilakukan oleh beberapa psikolog seperti ivan pavlov
dan Calvin Hall yang melakukan ujicoba pada beberapa jenis binatang, menyatakan
bahwa perbedaan emosional tersebut berasal dari perbedaan struktur badan dan
anatomi hewan itu sendiri. Pavlov mengungkapkan bahwa perilaku emosional seekor
anjing itu berbeda antara yang satu dan yang dapat dilihat dalam situasi yang
dialami seekor anjing. Ada anjing yang menakutkan dan menggonggong kerasa. Ada
pula yang tenang seakan tidak memiliki kepedulian.
Dalam suatu uji coba psikolog, pavlov
mengutarakan bahwa seekor anjing yang tinggi dan kurus ketika dirasuki emosi kemarahan,
anjing itu cenderung menakutkan dan menyerang. Adapun seekor anjing yang gemuk
dan pendek ketika sedang marah cenderung bersikap bingung, bahkan kadang
cenderung mengantuk. Adapun uji coba yang dilakukan oleh Hall menemukan
perbedaan pada beberapa tikus putih dalam tingkat emosi ketakutannya saat
dihadapkan pada situasi yang menyeramkan. Keberadaan tingkat emosi ketakutan
inipun dapat menurun secara genetika. Kajian yang dilakukan pada tikus tersebut
menunjukkan adanya perbedaan anatomi, kuantitas, kelenjar anak ginjal (adrenal
glaand), kelenjar gondok, dan kelenjar lendir pada tikus penakut lebih besar
dari tikus yang emosi ketakutannya sedikit.
Selain binatang, kita juga dapat melihat
adanya perbedaan dalam tingkat waktu dan emosional antar manusia. Ada orang
yang cepat marah dan keras hatinya, ada juga tenang dan tingkat kemarahannya
sedikit lamban. Hal paling signifikan terjadinya perbedaan tesebut disebabkan
adanya perbedaan struktur tubuh, sistem saraf, dan jaringan kelenjar.
Namun, sekarang ini diketahui juga bahwa
proses belajar memiliki peran yang cukup signifikan dalam pembentukan perbedaan
emosional antar manusia. Bahwa emosi yang mendorong dan muncul pada kondisi dan
situasi tertentu sebenarnya dapat dipertahankan dan dipelajari, yang pada
akhirnya seseorang cenderung memunculkan emosinya sesuai dengan kondisi dan
situasi tertentu.
a. perbedaan tingkat kecerdasan
Secara umum, tingkat kecerdasan atau
intelektualitas mengandung kemampuan nalar seperti memahami atau mengingat dan
juga kemampuan belajar. Para psikolog mendefinisikan tingkat kecerdasan atau
intelektualitas itu sebagai kemampuan belajar.
Hadis nabi SAW menunjukkan adanya perbedaan
antarmanusia pada tingkat kecerdasan atau intelektualitanya. Hadis tersebut
menyebutkan bahwa ada orang yang belajar dengan cepat, mampu memahami sesuatu,
atau mengingat seseuatu dan mengajarkannya kepada orang lain.
Diriwayatkan dari Abu hurairah RA bahwa Rasululloh SAW
pernah berkata :
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللّهُ بِهِ مِنَ الْھُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ
الغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ اَرْضًا فَكَانَتْ مِنْھَا طَاءِفَةُ طَيِّبَةُ
قَبَلَتْ الْمَاءُ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعَشَبَ الْكَثِيْرَ. وَكَانَ
مِنْھَا أَجَادِبٌ أَمْسَكَتِ الْمَاءُ فَنَفَعَ اللّٰهَ بِھَا النَّاسَ
فَشَرِبُوْا مِنْھَا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا.
وَاَصَابَ طَاءِفَةٌ مِنْھَا أخْرَى إِنَّمَا ھِيَ قِيْعَانِ لَاتَمْسِكَ
مَاءً وَلاَ تَنْبُت كَلَأً. فَذَالِكَ مِثْلُ مِنْ فَقَّهَ فِي دِينِ اللّٰه
وَنَفَعَهُ مَا بَعَسَني اللّٰه بِهِ فَعَلِّمْ وَ عَلِّمَ، وَ مِثْلُ مَنْ لَمْ
يَرْفَعُ بِذَلِكَ رَأساً، وَلَمْ هُدَى اللّٰه الَّذِى أُرْسِلَتْ بِهِ.
“Sesungguhnya perumpamaan hidayah (petunjuk) dan ilmu
Alloh SWT yang menjadikan aku sebagai utusan itu seperti hujan yang turun ke
bumi. Diantara bumi itu terdapat sebidang tanah subur yang menyerap air dan sebidang
tananh itu rumput hijau tumbuh subur. Ada juga sebidang tananh yang tidak
menumbuhkan apa-apa walaupun tannah itu penuh dnegan air. Padahal Alloh SWT
menurunkan air itu agar manusia dapat meminumnya, mengilangkan rasa haus, dan
menanam. Ada juga sekelompok orang yang mempunyai tananh gersang yang tidak ada
air dan tidak tumbuh apapun di tananh itu. Gambaran tersebut seperti orang yang
mempunyai ilmu agama Alloh SWT dan mau memanfaatkan “sesuatu” yang telah
menyebabkan aku diutus oelh Alloh SWT kemudian orang itu memepelajari dan
mengerjakannya. Dab seperti orang yang sedikitpun tidak tertarik dengan apa
yang telah menyebabkan aku di utus oleh Alloh SWT . ia tidak mendapat
petunjuk dari Alloh SWT, yang karenanya aku menjadi utusan-Nya.”
Dalam hadis ini Rasululloh SAW menggambarkan
perbedaan antarmanusia dalam kemampuan belajar, memahami, dan mengingatnya.
Ketiga kemampuan ini tergolong dalam pengertian intelektualitasnya. Berdasarkan
hadis ini dapat disimpulkan bahwa intelektualitas manuisa dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan. Pertama,
seperti tananh subur yang berarti orang dalam golongan ini mampu belajar,
menghafal, dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada ornag lain sehingga
ilmu yang dimilikinya dapat bermanfaat untuk dirinya dan juga bagi orang lain. Kedua,
seperti tanah gersang yang berarti orang dalam golongan ini mampu menjaga dan
mengajarkannya kepada ornag lain, tetapi ilmu yang dimilikinya tidak bermanfaat
untuk dirinya, melainkan hanya untuk orang lain. Ketiga, seperti tanah
tandus, yang berarti orang dalam golongan ini tidak tertarik dengan ilmu,
apalagi menghafal dan mengajarkannya kepada orang lain.
Rasululloh SAW menunjukkan secara jelas
tentnag perbedaan antarmanusia dlam tingkat kecerdasan atau intelektualitas
dalam hadisnya:
نَحْنُ مَعَاشِرُ االْنبِيَاءِ أمَرْنَا أَنْ نُنَزًلَ النَّاسَ
مَنَازِلَهُمْ، وُنُكَلِّمُهُمْ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ
“kami para nabi diperintahkan untuk mengunjungi rumah
orang dna mengajari mereka sesuai dengan kemampuan akalnya.”
Dalam hadis ini terdapat isyarat
tentang perbedaan manusia dalam kemampuan akalnya. Hadis ini juga mengandung
pesan bahwa siapa saja yang ingin mengarahkan dan mengajari manusia, baik
pengajar itu dari kalangan para nabi maupun par aguru, maka mereka harus
memperhatikan perbedaan tingkat kecerdasan atau intelektualitas para muridnya.
Setiap individu dari masing-masing mereka harus diajak bicara sesuai dengan
tingkat kemampuan akalnya. Secara Eksplisit, hadis ini meletakkan metode dasar
pendidikan yang harus diperhatikan oelh para pendidik muslim atau para pendidik
masa kini.
b. perbedaan tingkat emosional
Terdapat hadis yang mengisyaratkan perbedaan
manusia pada tingkat emosi kemarahannya. Tingkat emosi kemarahan manusia
terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, orang yang tingkat emosinya
lambat, jarang mengekspresikan kemarahannya. Kalaupun ia marah, ia akan cepat
mengendalikan kemarahannya. Orang semacam ini dikategorikan sebagai manusia
yang snagat mulia. Kedua, orang yang emosi kemarahanya terlalu cepat,
tetapi ia juga cepat mengendaliknnya. Ketiga, orang yang emosi
kemarahnnya terlalu cepat dan jika emosi kemarahnnya muncul, ia sulit
mengendalikan dirinya kecuali dalam rentang waktu cukup lama. Orang seperti ini
dikategorikan sebagai manusia paling buruk.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA bahwa
Rasululloh Saw pernah berkata:
أَلاَ وَإِنَّ مِنْهُمْ (بَنِي ادَمَ) البَطِيءُ الغُضَبُ سَرِيعُ
الفَيِّ، وَمِنْهُمْ سَرِيعُ الْغَضَبِ سَرِيْعُ الْفَيِّء، فَتِلْكَ...” بِتِلْكَ، أَلاَ وَاِنَّ مِنْهُمْ سَرِيْعُ الْغَضَب بَطِيْءُ
الفَيِّء، ألَاوَخَيْرُهُمْ بَطِيْءُ الْغَضَبِ سَرِيْعُ الفَيِّء، ألَا
وَشَرُّهُمْ سَرِيْعُ الغَضَبِ بَطِيءُ الفَيِّء..."
“ingatlah, diantara anak Nabi Adam AS itu ada yang lambat
marah dan cepat terkendali. Ada pula yang cepat marah dan cepat pula
terkendali. Ingatlah, diantara anak Nabi
Adam AS itu ada yang cepat marah dan lambat terkendali. Ingatlah,
sebaik-baik mereka ialah anak Nabi Adam AS yang lambat marahnya dan cepat
terkendali. Ingatlah, seburuk-buruk anak Nabi Adam AS ialah yang cepat marahnya
dan lambat terkendali.”
4. Pengaruh
hereditas dan lingkungan pada perbedaan individual
Para ahli ilmu jiwa modern pernah meneliti batasan setiap pengaruh
keturunan (hereditas) dan lingkungan terhadap perbedaan individual. Hasil
penelitian tersebut menegaskan adanya faktor keturunan yang signifikan di satu
sisi dan faktor lingkungan yang sulit terelakkan di sisi lain. Namun, dari
semua hasil penelitian itu para psikolog sepakat bahwa kedua faktor antar
keturunan dan lingkungan tersebut saling terkait satu sama lain dan mempunyai
pengaruh Satu sama lainnya terhadap karakteristik manusia yang membentuk
perbedaan individualnya. Dengan kata lain, masing-masing kedua pengaruh
tersebut sulit untuk dipisahkan.
Persoalan yang kemudian muncul ialah mengetahui seberapa besar relativitas
ukuran masing-masing kedua pengaruh ini terhadap perilaku dan karakteristik
manusia. Secara sepintas pengaruh heridetas tampak memiliki peran penting dalam
pembentukan strukur badan seperti tinggi, berat, dan kuat. Namun, pada saat
yang bersamaan kita tidak dapat mengabaikan pengaruh lingkungan dalam
pembentukan karakter nalar seperti kecerdasan.
Maksudnya, sesuatu yang dipahami oleh individu dari lingkungannya, baik
itu persoalan makanan, kesehatan, hingga olahraga, memiliki pengaruh besar pada
perbedaan individual. Begitu juga dengan proses pendidikan dan beberapa
pengaruh besar pada perbedaan individual. Begitu juga dengan proses pendidikan
dan ketrampilan pun memiliki pengaruh dalam pertumbuhan intelektualitas
individu.
Dengan demikian, jelas bahwa faktor lingkungan baik berupa pendidikan
maupun pelatihan merupakan faktor terpenting pada perbedaan individual.
Walaupun pada kondisi tertentu kita juga tidak dapat mengabaikan pengaruh
keturunan (genetika), terutama kesuksesan dan keahlian yang telah dicapai
individu pada tahap akhir perjalanan hidupnya.
4.1 Pengaruh Hereditas
Sesuai hadis yang telah disebutkan, Rasululloh SAW mengisyaratkan pengaruh
keturunan terhadap perbedaan individual. Hadis tersebut menyebutkan bahwa Alloh
SWT menciptakan Nabi Adam AS dari genggaman Bumi yang Alloh SWT cengkeram.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: seorang laki-laki dari Bani
Fazarah pernah datang mengunjungi Nabi SAW. Laki-laki itu berkata: “istriku
melahirkan seorang anak yang berkulit hitam.” Lalu Nabi SAW bertanya: “apakah
engkau memiliki unta?” laki-laki itu menjawab, “punya.” Nabi SAW bertanya lagi:
“apa warna unta itu?” ia menjawab: “merah.” Nabi SAW kemudian bertanya lagi: “Apakah
unta tersebut makan dedaunan?”. Laki-laki itu menjawab: “Benar.” Nabi SAW lalu
bertnaya lagi: “Mengapa engkau memberinya dedaunan?”. Ia menjawab: “karena aku
berharap unta itu melahirkan keturunan.” Nabi SAW lalu berkata: “Semoga unta
itu melahirkan keturunan.”
Hadis ini mengisyaratkan dengan jelas pengaruh keturunan terhadap warna
yang terlihat pada beberapa kulit badan manusia. Hal ini merupakan pengaruh
genetika atau keturunan dari sallh satu nenek moyangnya, jika sifat keturunan
tersebut tidak tampak dari sallah satu kedua ornag tuanya.hasil riset modern
menegaskan kenyataan ini dengan istilah “sifat keturunan nenek moyang yang
mundur” (keturunan).
Rasululloh SAW menyinggung pengaruh hereditas ini dalam salah satu
hadisnya:
اِنَّ النُّطْفَةَ إذَا اسْتَفَرَّتْ فِيْ الرَّحِمِ أحْضَرَ
هَااللّٰهُ كُلُّ نَسَبٍ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اٰدمَ
“apabila nutfah (sperma) itu menentpa dalam rahim, maka Alloh SWT
menghadirkan antara sperma dna Nabi Adam AS. Pada setiap nasab (keturunan).”
Beberapa kajian ilmiah genetika modern menunjukkan bahwa janin pada setiap
binatang bersperma dan bersel telur terbentuk dari campuran nutfah (air mani)
yang membentuk sifat genetiknya. Setiap binatang bersperma dan bersel telur
memmiliki setengah daari sel yang mengandung 23 kromosom. Ketika kedua sel
tersebut bertemu, maka akan terjadi pembuahan. Nutfah yang berpengaruh ini
disebut dalam Al-quran:
انَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ
مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍ ۖ نَّبْتَلِيْهِ
فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًۢا بَصِيْرًا
"Sungguh,
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat."(q.s al-insan 2)
Dalam salah satu hadis, Rosululloh SAW juga mengisyaratkan pengaruh genetika
pada perilaku manusia. Rosululloh bersabda :
تَخَيِرُوا لِنُطْفِكُمْ وَانْكِحُوا الأَكْفَاءَ
وَانْكِحُوا اِلَيْهِمْ
“pilihkan
untuk sperma (nutfah) kalian, nikahilah orang yang sepadan dan nikahilah
mereka.”
4.2 Pengaruh Lingkungan
Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana seoarang
anak tersebut tumbuh dan berkembang. Anak juga dipengaruhi oleh kebiasaan dan
etika kedua orangtuanya, cara orang tuanya
mendidik, teman di sekitarnya, para guru mengajarinya, media informasi yang
didapatkannya, peristiwa dan pengalaman yang dilaluinya setiap hari.
Rosululloh SAW mengisyaratkan pentingnya
pengaruh lingkungan keluarga terhadap anak, beliau berkata:
“tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali ia
dilahirkan dalam keadaaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan seorang
anak menjadi yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang yang melahirkan
anaknya. Apakah kalian memberi makannanya dengan baik?.”
Selain orang tua, teman, atau orang
yang terdekat juga memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan
perilaku anak, terutama pada masa remaja. Biasanya teman yang moralnya buruk
kadang juga akan mempengaruhi orang yang sering menemaninya. Hal yang membuat
para remaja banyak berperilaku menyimpang dan tenggelam ke dalam perilaku buruk
serta tindakan kriminal seringkali dikarenakan oleh pengaruh dari temannya yang
buruk. Pengaruh teman ini diperkuat oleh beberapa studi yang menyoroti tindakan
penyimpangan mereka. Oleh karena itu memilih teman yang baik dan mejahui teman
yang buruk moralnya bagi anak-anak harus mendapat perhatian dari kedua orang
tua. Rosululloh SAW mengisyaratkan pengaruh teman ini. Beliau berwasiat agar
seorang memilih teman yang baik dan menjahui teman yang buruk.
Diriwayatkan dari Abu Musa RA bahwa Rasululloh
SAW pernah berkata:
انَّمَا مَثَلُ الجَلِيْسُ الْصَالِحُ وَالْجَلِيْسُ الْسَيِّء
كَحَامِلُ الْمِسْكِ وَنَافِخُ الْكَبِيْرِ. فَحَامِلُ الْمسْك اِمَّاَ أَنْ
يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أنْ تُبْتَاعَ مِنْهُ، وَاِمَّا اَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا
طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكَيْرِ إمَّا اَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَاِمَّا اَنْ
تَجِدَ فِيْهِ رِيْحًا خَبيْثَةً
“Perumpamaan seorang teman yang sholeh dan
teman yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual
minyak wangi bisa saja memberikan minyaknya kepadamu ayau kamu menjualkannya
atau juga kamu bisa mencium bau wanginya. Adapun orang yang pandai besi, kalau
tidak membakar pakaianmu, maka kamu akan mencium bau yang tidak sedap.”
Seperti
dikatakan sebelumnya, bahwa manusia dapat belajar banyak tentang kebiasaan,
moral, dan nilai, serta orientasi pemikiran dari lingkungan sosial dan budaya
dimana manusia tumbuh. Jika kebiasaan manusia tersebut sudah mendarah daging
maka kebiasaan tersebut akan sulit dihilangkan, akan tetapi kebiasaan tersebut
dapat dirubah dengan cara usaha dan kemauan keras untuk merubah kebiasaan
tersebut menjadi lebih baik. Oleh karen itu pendidikan anak-anak harus mendapat
perhatian khusus dari orang tua agar kebiasaan baik yang sebenarnya telah
dimiliki seorang anak dapat terjaga sejak kecil.
Rosululloh SAW mengisyaratkan kebiasaan buruk yang telah mengakar dan
bersemayam dalam perilaku manusia. Kebiasaan tersebut akan muncul secara
spontan, Begitu juga sebaliknya. Dalam konteks ini Rosululloh SAW bersabda:
تُعْرِضُ الْفِتَنُ علَىَ الْقُلُوْبِ كَالْحَصِيْرِ عَوْدًا عَوْدًا
فَأَيُّ قَلْبٍ أَشْرَبَهَا نُكِتَ فِيْهِ نُكْتَةً سَوْدَاء، وَأيُّ قَلْبٍ اَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيْهِ
نُكْتَةً بَيْضاَءَ حَتَّى تَصِيْرَ عَلَى قَلبَيْنِ عَلَى اَبْيَضِ مِثْلُ
الصَّفَا فَلَا تُضِرُّهُ فِتْيَةً مَا دَامَتِ السّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ،
وَالْاٰخَر أَسْوَدَ مُرْبَادًا كَالْكُوْزِ مُجْخِيًا مُجْخِيًا لَا يَعْرِفُ
مَعْرُوْفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إلَّا مَا أشْرَبَ مَنْ هَوَاهُ...
“setiap fitnah itu dapat membahayakan setiap
hati seperti orang bakil yang semakin har semakin bakil. Maka hati siapa saja
yang meneguknya, maka akan terdapat titik hitam didalamnya. Dan hati siapa saja
yang berpaling darinya, maka akan terdapat titik putih. Sehingga salah satu hati itu akan
menjadi putih menjadi seperti kejernihan yang sulit dipengaruhi oleh fitnah
selama masih ada langit dan Bumi. Adapun hati yang hitam akan menjadi titik
hitam kelam seperti panci yang terbalik yang tiada kebaikan dan keindahan. Hati
semacam itu karena tidak berpaling dari kemungkaran, bahkan meneguk setiap
fitnah karena hawa nafsunya.”
Dalam hadis ini Rasululloh SAW menggambarkan pengaruh fitnah dan lingkungan
yang buruk tehadap perilaku manusia. Siapa saja yang bersikap pasarah da
menerima dengan lingkungan tersebut bahkan berpihak dan mencintainya, maka hati
seseorang akan meninggalkan pengaruh seperti titik hitam. Jika hati seseorang
sering terkena fitnah dan pengaruh lingkungan yang buruk dan cenderung
mencintai pengaruh tersebut, maka titik hitam dalam hatinya akan semakin banyak
hingga hati orang itu berwarna hitam kelam. Gambaran ini menunjukkan kondisi
hati manusia yang tidak memiliki keimanan, ia dikuasai oleh kebiasaan buruk dan
etika yang tercela. Rasululloh SAW menggambarkan hati yang kelam tersebut
seperti panci yang terbalik yang tidak ada keindahan sedikitpun. Adapun manusia
yang sejak kecil tumbuh diatas sifat keutamaan dan akhlak yang baik serta
cenderung bertakwa, maka ia akan menolak pengaruh fitnah dan lingkungan yang
buruk. Hal itu karena keimannya yang kuat dan jauh dari kejelekan dan keburukan
seperti batu yang halus dan licin yang tidak terkena kotoran sedikitpun.
5. Tipe Kepribadian
Al-quran mengklasifikasikan manusia berdasarkan keimannya menjadi tiga
tipe. Mereka itu ialah orang mukmin, kafir, dan munafik. Rosululloh SAW juga
mengklasifikasikan manusia berdasarkan keimannya ke dalam empat tipe. Mereka
itu ialah orang yang beriman, kafir, munafik, dan orang yang hatinya bercampur
antara keimanan dan kemunafikan.
Rosululloh SAW berkata:
“Hati (manusia) itu terbagi atas empat.
Pertama, hati yang tidak ternodai seperti lampu yang bersinar. Kedua, hati yang
tertutup karena terikat oleh tutupnya. Ketiga, hati yang terbalik. Keempat,
hati yang tertempa. Adapun hati yang tidak ternodai ialah hati yang tertutup
ialah hati seorang yang beriman, lampu hatinya merupakan cahayanya. Adapun hati
yang tertutup ialah hati orang yang kafir. Hati yang terbalik ialah hati orang
yang munafik, ia mengetahui kebenaran tetapi ia memungkirinya. Adapun hati yang
tertempa ialah hati yang memiliki keimanan dan kemunafikan. Artinya, keimanan
dalam hati ini seperti sayuran yang berisi air yang segar, sedangkan
kemunafikan dalam hati ini seperti luka yang berisi nanah dan darah. Dari kedua
isi tersebut tidak diketahui isi yang mana yang dapat mengalahkan isi yang
lain.”
Setiap dari keeampat tipe yang digambarkan
dalam hadis tersebut dapat kita bagi lagi kedalam dua bagian. Seorang mukmin,
misalnya, dapat terbagi menjadi dua tipe, yakni mukmin yang bertakwa dan mukmin
yang hanyut dalam kemaksiatan.
Rasuluallah
SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh abu hurairah RA pernah berkata:
اِنَّ الله قَدْ
أذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيِّةَ الْجَاهِلِيَةِ وَفَخَّرَهَا بِالْ ابَاءِ , مُؤْمِنٌ
تَقِيِّ وَمُؤْمِنٌ فَاجِرٌ, أنْتُمْ بَنُوْ ادَمَ, وادَمَ مِنْ تُرَابٍ . . .
الحديث
“ sesungguhnya allah swt telah menghapus
kesombongan jahiliyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Mukmin yang beriman
dan mukmin yang bergelimang dosa, kalian semua adalah anak nabi adam AS dan
nabi adam AS itu berasal dari tanah.
Dalam hadis ini Rasulullah SAW membagi orang
yang beriman berdasarkan tingkat keimanan dan ketakwaan mereka menjadi dua
golongan:
Orang yang beriman dan orang yang bergelimang
dosa. Dalm hadis lain rasuluallah SAW membagi manusia berdasarkan keimanannya
kedalam dua tipe yang lebih spesifik, yakni orang yang beriman dan berpegang
teguh dengan keimannya sehingga meninggal duia, dan orang mukmin yang
melahirkan anak yang tumbuh di lingkungan orang kafir, tetapi ia tetap beriman
hingga ia meninggal dunia. Adapun golongan kedua, yakni orang kafir yang melahirkan
anak yang kafir dan hidup dalam kekafiran hingga meninggal dunia dan orang
kafir yang melahirkan anak kafir yang tumbuh dalam lingkungan orang yang
beriman, kemudian ia hidup dalam keimanan. Ia lalu keluuar dari keimanannya
hingga ia meninggal dunia hingga kekafiran.
Diriwayatkan
dari abu Sa’id Al-khudri RA bahwa rasuluallah SAW pernah bersabda:
. . . أَلَ إنَّ بَنِي ادَمَ خَلَقُوْا عَلَى طَبَقَات شَتَّى.
فَمِنْهُمْ مَنْ يُوَلِّدُ مُؤْمِنًا وَيَحْيَا مُؤْمِنًا وَيَمُوْتُ مُؤْمِنًا.
وَمِنْهُمْ مَنْ يُوَلِّدُ كَافِرًا وَيَحْيَا كَافِرًا وَيَمُوْتُ كَافِرًا.
وَمِنْهُمْ مَنْ يُوَلِّدُ مُؤْمِنًا وَيَحْيَا مُؤْمِنًا وَيَمُوْتُ كَافِرًا.
وَمِنْهُمْ مَنْ يُوَلِّدُ كَافِرًا وَيَحْيَا كَافِرًا وَيَمُوْتُ مُؤْمِنًا . .
. الحديث
“ingatlah, sesungguhnya anak Nabi Adam AS
itu diciptakan dalam tingkatan yang berbeda. Di antara mereka adalah orng yang
melahirkan anak yang di iman, ia hidup dan mati menjadi orang yang mukmin. Dan
di antara mereka ialah orang yang melahirkan anak yang kafir, ia hidup dan mati
dalam kekafiran. Adapula di antara mereka yang melahirkan anak yang mukmin,
hidup dalam keadaan mukmin tetapi ketika meninggal dunia, ia dalam keadaan
kafir adapula di antara mereka orang yang melahirkananakyang kafir, hidup dalam
keadaan kafir, tetapi mati dalam keadaan beriman.”
Pembagian manusia kedalam beberapa tipe berdasarkan keimanan ini, baik yang
tersebut kedalam Al-qur’an maupun hadis, sejalan dengan sudut pandang islam
yang menyatakan bahwa iman adalah iman nilai kemanusiaan yang tertinggi. Atas
dasar inilah dasar kepribadian manusia dapat dinilai sebagai mana yang akan
diterngkan pada persoalan penilaian kepribadiaan.
Rasulullah SAW. Membagi manusia berdasarkan kecendrungan emosinya dalam
tiga tipe:
1. marahnya lambat dan cepat terkendali.
2. Marahnya cepat dan cepat terkendali.
3. Marahnya cepat dan lambat terkendali.
6. Pembentukan
pribadi
Keimanan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Keimanan dapat
mengarahkan dan membatasi perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,
dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Keimanan merupakan nilai yang dapat
mengukur segala sesuatu dan aktivitas dan karena keimananlah manusia terbagi ke
dalam tipe yang telah di uraikan.
Manusia yang paling utama dalam pandangan islam adalah orang yang paling
kuat keimanan dan ketaqwaannya. Allah SWT berfirman:
يااَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ
شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا
ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ
اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."
)QS Al
Hujarat:13(
Rasulullah SAW pernah di tanya, “siapakah
orang yang paling mulia?” beliau menjawab: “orang yang paling bertaqwa di
antara mereka.” Dengan demikian, nilai manusia dalam pandangan islam tergantung
pada tingkat keimanan, ketaqwaan, amalan, dan moralnya. Bukan karena keturunan
atau nasab atau karena memiliki harta yang melimpah, atau kekuasaan dan pangkat
yang tinggi atau juga rupa yang tampan atau cantik.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّهُ
لَيَأْتِىى الرَّجُلُ الْعَظِيْمُ السَّمِيْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَ يَزِيْدُ
عِنْدَ الله جِنَاخٌ بِعَوْضَةٍ وَقَالَ: فَلَ نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وِزْنَا
“Sesungguhnya di hari kiamat akan
datang seorang laki-laki yang besar dan gemuk yang tiada tempat tambahan di
sisi Allah SWT sama sekali dan beliau berkata: Bacalah, maka kami dirikan untuk
mereka timbangan di hari kiamat.”
Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ لَ يَنْظُرُ إِلَى صُوُرِكُمْ وَأَمْوَ الِكُمْ وَلَكِنْ
يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“sesungguhnya Allah SWT tidak melihat bentuk
rupa dan harta kalian.”
7. Teori-teori kepribadian
Dalam upaya
memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah yang dihadapi, ternyata tidak semua
individu mampu menampilkan secara wajar, normal atau sehat (well adjustment);
di antara mereka banyak juga yang mengalaminya secara tidak sehat (maladjustment).
E.B. Hurlock (1986) mengemukakan bahwa karakteristik penyesuaian
yang sehat atau kepribadian yang sehat (healthy personality)
ditandai dengan.
a. Mampu menilai diri secara realistik.
b. Mampu menilai situasi secara realistik.
c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik.
d. Menerima tanggung jawab.
e. Kemandirian (autonomy).
f. Dapat mengontrol emosi.
g. Berorientasi tujuan.
h. Berorientasi keluar.
i. Penerimaan sosial.
j. Memiliki filsafat hidup.
k. Berbahagia.
7.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi
keragaman teori kepribadian
Menurut
Stefflre dan Matheny ada beberapa faktor yang mempengaruhi keragaman teori
kepribadian, yaitu sebagai berikut :
1.
Personal, teori merupakan refleksi dari kepribadian pembangunnya (personality
of its builder).
2.
Sosiologis, corak kehidupan sosial budaya tempat pembangun teori
itu hidup.
3. Filsafat, cara pandang yang dianut oleh pembangun teori tentang
suatu fenomena kehidupan.
4. Agama,
keyakinan yang dianut oleh pembangun teori.
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa kepribadian
itu merupakan bentuk interaksi yang dilakukan seorang individu dengan individu
lain, dimana kepribadian ini secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan
sesuai kondisi dimana individu tersebut berada.
Islam pun telah menjelaskan bagaimana pentingnya memiliki kepribadian
yang baik, sebagaimana yang telah dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Membentuk kepribadian yang baik memproses diri menyerap nilai-nilai ketuhanan,
kenabian dan selanjutnya mengimplementasikannya ke seluruh aspek kehidupan
beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nabi Muhammad SAW merupakan
pintu utama bagi setiap hamba yang ingin membangun kepribadian yang baik
tersebut.
Meniru dan mengikuti jejak Rasulullah SAW termasuk perbuatan mulia
nan agung, yang menjadikan seorang muslim berhasrat mempraktekan perbuatan
mulia tersebut, dapat berharap akan kebaikan dunia dan akhirat. Di antara
manfaatnya yaitu dapat menghantar kepada cinta dan ampunan Allah SWT,
menghantarkan kepada rahmat Allah SWT yang sangat luas, menjamin diterimanya
amal perbuatan, menjamin hidayah dari Allah dan termasuk sunnah Nabi. Islam
juga menyerukan kepada manusia agar memiliki pendirian dalam hidup ini dan
selalu menjauhi sifat keji.
DAFTAR PUSTAKA
Najati, Ustman Muhammad, Psikologi dalam persepektif Hadis,(jakarta:
PT Pustaka Al-Husna).2004
Yusuf, Syamsul,
Teori Kepribadian,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset).2012
Assalamualaikum wr wb. Maaf sebelumnya. Saya ingin mengajukan pertanyaan mengenai paparan yang kalian buat Jadi begini , implementasi seperti apakah yang bisa diterapkan jika ingin membentuk kepribadian seorang Muslim menurut sistematika persepektif hadis? Terimakasih.
BalasHapusWassalamualaikum Wr. Wb
HapusSeperti yg sudah d jelaskan dalam makalah diatas, bahwa pembentukan kepribadian didasarkan pada keimanan, dalam hadis juga disebutkan bahwa Rosululloh SAW mengklasifikasikan tipe kepribadian manusia menurut keimanannya ke dalam empat tipe. Mereka itu ialah orang yang beriman, kafir, munafik, dan orang yang hatinya bercampur antara keimanan dan kemunafikan.
Maka penerapan untuk membentuk kepribadian itu sendiri adalah bagaimana cara kita agar selalu bertakwa kepada Alloh.Semakin kita bertakwa kepada Alloh maka kepribadian akan terbentuk dengan baik yaitu menjadikan kita manusia yg beriman kepada Alloh. Dengan kata lain pembentukan kepribadian manusia yang utama dilihat dari seberapa besar keimananan, ketakwaan ia kepada Alloh, karena hal tersebut lah yg menjadi kunci dan acuan ia dalam membentuk kepribadian.