Kepribadian dalam Perspektif Hadits


“KEPRIBADIAN DALAM PERSPEKTIF HADIST”

Disampaikan pada mata kuliah
Hadist Psikologi

Dosen Pengampu :
Kholila Mukaromah S.Th.I., M.Hum

Disusun Oleh :
1.  Anis Nur Kholifah (933412417)
2. Khisna Nihayatun Najmi (933412517)
3. RensiaPutri Maulina (933412717)
4. Alma Herlambang (933413117)

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN ILMU SOSIAL IAIN KEDIRI TAHUN 2018



PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang santun karena dalam islam sangat menjunjung tinggi pentingnya etika, moral, dan akhlak mulia pada pribadi manusia. Kepribadian yang baik, dengan segala macam bentuknya sangat kita perlukan di setiap tempat dan waktu: dalam hubungan kita dengan Allah. Dengan hubungan kita kepada diri kita, dan dalam hubungan kita dengan masyarakat. Kita semua mempunyai akhlak dan perilaku yang baik di dalam hidup, dan memperoleh ganjaran yang baik di akhirat kelak.
Adapun pertanyaan bagaimana kita menerapkan perangai dan tingkah laku yang baik di dalam kehidupan kita, maka jawabanya adalah bahwa yang menjadi landasan kita dalam hal ini adalah akal (hikmah), yaitu dengan menggunakannya pada jalan yang benar; kemudian agama yaitu dengan berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya; dan juga akhlak dan kesopanan.
Kepribadian merupakan salah satu kajian psikologi yang membahas tentang tingkah laku manusia. Beberapa ahli psikologi memberikan asumsi tentang prilaku manusia tersebut sehingga muncul beberapa teori yang menjadi dasar dalam tingkah laku manusia. Beberapa temuan para ahli yang semakin beragam sehingga menjadikan teori yang beragam pula. Keberagaman teori terebut didasarkan pada aspek personal, kehidupan beragama, lingkungan social budaya, serta filsafat yang dianut.
Pada makalah ini akan mengupas berbagai kumpulan kaidah dan juga pandangan mengenai kepribadian seseorang yang bersumber dari Al-Qur’an, dan Hadits.




PEMBAHASAN

            Para psikologi modern telah melakukan riset hingga menghasilkan teori yang dapat di jadikan sebagai standar untuk memahami kepribadian manusia. Namun, sampai sekarang mereka tidak sepakat dengan teori umum yang di terima oleh semua kalangan dalam memahami kepribadian manusia. hal ini karena mayoritas dari psikologi modern menilai dengan sudut pandang mereka mengenai manusia, dan perhatiannya berpusat pada sisi manusia tertentu. Akibatnya mereka membuat teori berdasarkan studi dan riset yang berfokus pada sisi perilaku manusia yang menurut mereka telah di kaji dengan metodologi riset ilmiah yang objektif. Kajian yang mereka hasilkan yaitu banyak manusia yang bersifat dangkal, dan hasil tersebut mudah di patahkan melalui metode eksperimen ilmiah.
            Hal ini di sebabkan kajian yang mereka lakukan sering melupakan sisi perilaku manusia yang signifikan dan substansial, yakni aspek spiritualitas manusia. oleh karena itu, penting untuk di catat bahwa kita harus melihat sisi spiritualitas manusia dengan metodologi tertentu yang berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh psikologi modern. Untuk mempermudah, maka kita harus memanfaatkan keterangan (teks) yang banyak di sinyalir dalam agama langit (samawi) maupun keterangan yang di sampaikan oleh para Nabi dan Rasul mengenai hakikat manusia.
Allah SWT berfirman:
اَ لَا يَعْلَمُ  مَنْ خَلَقَ ۗ  وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْر
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Q.S. Al-Mulk [67] : 14)
            Keterangan Alqur’an banyak menyinggung tentang hakikat yang berhubungan dengan pembentukan manusia, sifat kepribadiannya, faktor yang memengaruhi, dan penyebab penyelewengan atau penyimpangannya, sekaligus cara mengobati dan mengarahkannya. Di samping Alqur’an, hadits Rasulullah SAW banyak memuat informasi mengenai watak dan kesiapan alamiah manusia, faktor yang memengaruhi perilaku manusia, penyebab penyelewengan dan fitrahnya, cara meluruskan dan menjaga penyelewengan, serta hal lain yang menyangkut hakikat kepribadian manusia.


      1.      Fitrah Manusia
  Alqur’an menginformasikan kepada kita mengenai bagaimana Allah SWT menciptakan manusia. Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS dari tanah liat, kemudian meniupkan roh-Nya ke dalam diri Nabi Adam AS.
Allah SWT berfirman:
اذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ  خَالِـقٌ ۢ بَشَرًا مِّنْ طِيْنٍ
فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ  فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (Q.S. As-Shad [88] : 71-72).
      Hadits Rasulullah SAW juga menyebutkan proses penciptaan manusia yang berasal dari materi dan roh. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَع خَلْقُهُ فِي بَطْنِ اُمِّهِ اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةْ, ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَهْ مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةْ مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ يُرْسِلُ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ . . . الحديث
“Proses penciptaan kalian semua dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa air mani (nutfah), kemudian menjadi segumpal darah, kemudian berubah menjadi segumpal daging. Lalu malaikat diutus untuk meniupkan roh di dalamnya.”
      Hadits ini mengisyaratkan bahwa penciptaan manusia terjadi dari susunan antara sifat materi dan roh, serta antara sifat hewan dan malaikat. Disamping itu juga kebutuhan dan motivasi raga yang bersifat alamiah untuk keberlangsungan hidup dan kelestarian jenis dengan kebutuhan dan motivasi spiritual untuk mencapai ketinggian jiwa dan kesempurnaan dirinya. Ketinggian jiwa ini dapat di capai oleh siapa saja karena hal ini merupakan anugrah dari Allah SWT kepada semua makhluk-Nya yang dinobatkan-Nya sebagai wakil-Nya di muka bumi.

      Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُوْدِ إِلَّ يُوْلَدُ عَلَي الْفِطْرَةِ, فَأَبَوَاهُ يُهَوَّدَانِهِ وَيُنَصْرَانِهِ وَيُمَجَّسَانِهِ . . . الحديث

“Tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali dengan kecenderungan alamiahnya (fitrah). Maka orang tuanyalah yang membuat anak manusia itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
      Fitrah atau kecenderungan alamiah ini perlu ditumbuh-kembangkan melalui proses pendidikan, pengarahan, dan pembelajaran. Hal ini di sebabkan karena anak yang masih di bawah umur mudah di pengaruhi oleh lingkungan buruk yang dapat mengakibatkan kecenderungan alamiahnya mengalami penyimpangan, bahkan berujung pada terbentuknya cara pandang dan perilaku yang tidak baik. Oleh karena itu, perkataan Rasulullah SAW: “Tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali dengan kecenderungan alamiahnya” dapat dipahami bahwa setiap anak dilahirkan tidak bisa berubah dari kecenderungan alamiahnya. Perkataan Rasulullah SAW tersebut mengandung unsur keterpengaruhan dari pihak keluarga serta faktor sosial dan budaya yang melingkupi kehidupan anak. Hal ini dapat dilihat pada keterangan hadits yang menunjukkan bahwa orang tua dapat mengarahkan atau memengaruhi anaknya untuk memeluk agama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Rasulullah SAW telah meriwayatkan:

إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاء كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أتَتْهُمْ الشَّيَاطِيْن فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ . . . الحديث
“sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-Ku menjadi orang yang lurus semuanya, akan tetapi setan itu memalingkan mereka dari agamanya.”
      Dengan adanya fitrah atau kecenderungan alamiah, maka manusia dapat memilih dan memilah antara kebenaran dan kesalahan serta antara kebaikan dan keburukan. Kecenderungan ini pun diiringi dengan kebebasan berkehendak yang merupakan anugerah dari Allah SWT agar memilih jalan kebaikan atau keburukan
Alloh SWT berfirman:
وَهَدَيْنٰهُ  النَّجْدَيْنِ
“dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Q.S. Al balad ayat 10)

Firman Allah SWT:
اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَّاِمَّا  كَفُوْرًا
“sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al-Insan:3)

Rasulullah SAW bersabda:
أِنّ الْحَلَ لَ بَيِّنُ وَ الْحَرَامُ بَيّنٌ . . . الحديث
“sesungguhnya perkara yang halal itu sudah jelas dan perkara yang haram itu juga jelas.”
         Dengan kecenderungan alamiah, manusia sebenarnya dapat mengetahui sesuatu yang halal dan haram, benar dan salah, kebaikan dan keburukan, serta keutamaan dan kehinaan.
      Diriwayatkan dari Waishah bin Ma’bad RA, ia berkata: ketika aku berkunjung kepada Rasulullah SAW, beliau bertanya: “Apakah engkau datang untuk menanyakan hal kebaikan?” Aku menjawab, “Benar.” Rasulullah SAW berkata: “Aku berharap agar hatimu berbicara, kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati (seseorang) merasa tenang dan damai. Adapun keburukan (perbuatan dosa) adalah sesuatu yang meresahkan jiwa dan meragukan hati. Jika engkau berbuat kebaikan, maka orang lain pun akan berbuat hal yang baik.”
    Dengan kecenderungan alamiah manusia cenderung berbuat kebaikan yang dapat menentramkan jiwanya. Jika jiwa manusia ragu atau ingin melakukan perbuatan dosa (hal keburukan), maka ia akan merasakan keresahan dan tidak tenang. Selanjutnya ia tidak mengetahui apa yang terbesit dalam hatinya atau perbuatannya. Oleh karenanya, jiwa itu merupakan fitrah yang setiap gerakannya memiliki akibat pada hal yang terpuji, sekalipun fitrah ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika di topang oleh pendidikan yang benar.
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰٮهَا  (8) فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰٮهَا(7)
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰٮهَا (10)  وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰٮهَا(9)
 “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10)

       2.    Keseimbangan Kepribadian
Setiap jiwa dan raga manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Raga, misalnya membutuhkan makanan, air, istirahat, menghindari rasa panas, dingin, atau sakit. Raga juga membutuhkan belaian dari jenis yang lain dan kebutuhan lain yang harus dipenuhi untuk keberlangsungan hidup dan kelestarian jenisnya. Jiwa pun memiliki kebutuhan misalnya, jiwa cenderung ingin mengenal Tuhannya, mengabdikan diri, atau mendekatkan diri dengan penuh kepasrahan, kesetiaan,dan perbuatan yang baik.
Namun, antara kebutuhan yang menjadi tuntutan jiwa dan raga ini manusia kadang tidak mampu menyeimbangkan antara keduanya secara proporsional. Manusia cenderung memenuhi motivasi raganya dengan mereguk kelezatan dan menikmati keindahan dunia secara berlebihan sehingga lupa memenuhi kebutuhan jiwanya. Manusia juga kadang berlebihan dalam memenuhi kebutuhan jiwanya (spiritualitas) sehingga kebutuhan raganya terabaikan. Sikap seperti ini mengakibatkan kecenderungan alamiah manusia akan mengalami penyimpangan. Sebagai konsekuensinya, kepribadian manusia pun akan mengalami ketidakseimbangan.
Islam menekankan keseimbangan antara sisi material dan spiritualitas manusia. penekanan ini sesuai dengan watak dan kecenderungan alamiah manusia yang selalu berusaha mengenal jati dirinya. Perhatian islam terhadap keseimbangan antara jiwa dan raga ini terbukti bahwa islam menetapkan sebagian ajaran pokoknya untuk boleh ditinggalkan jika dari segi pelaksanaannya membahayakan jiwa dan raga seseorang. Islam membolehkan umatnya untuk meninggalkan ibadah puasa wajib jika sedang dalam kondisi sakit atau sedang dalam perjalanan jauh yang melelahkan. Dalam berwudhu pun, seseorang jika menggunakan air dapat membahayakan kesehatannya, maka ia boleh menggantinya dengan cara bertayamum.
Islam beranggapan bahwa segala macam aktivitas hidup manusia ialah sebagai penghambaan diri (beribadah) kepada Tuhannya. Oleh karenanya, siapa saja yang berusaha mencari nafkah untuk orang tua, istri, dan anak-anaknya, maka sama halnya dengan ia beribadah atau berada di jalan Allah SWT. Seseorang yang sedang mencari nafkah tersebut harus memenuhi kebutuhan raga yang bersifat material dan kebutuhan spiritualnya.
Pada suatu ketika Rasulullah SAW pernah duduk bersama para sahabatnya. Mereka melihat seorang pemuda yang kekar dan kuat keluar di pagi hari untuk bekerja. Mereka lalu berkata: “celakalah pemuda itu jika kepemudaan dan kekekarannya tidak berada di jalan Allah SWT.” Rasulullah SAW lalu berkata: “janganlah kalian berkata seperti itu, sebab ia bekerja untuk dirinya, maka ia telah memecahkan masalahnya dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Sesungguhnya ia berada di jalan Allah SWT. Jika dia bekerja untuk mencukupi kedua orang tua atau saudaranya yang lemah, maka ia berada di jalan Allah SWT. Namun, jika ia bekerja untuk meraih kesombongan dan berusaha menumpuk hasilnya, maka ia berada di jalan setan.

            3.      Perbedaan individual
          Setiap manusia pasti memiliki banyak perbedaan yang bersifat individual dalam dirinya. Perbedaan individual tersebut, misalnya, warna kulit, cara berbicara, kemampuan fisik, intelektualitas, kemampuan belajar, dan ciri kepribadiannya. Sejak daahulu para pemikir berusaha mengungkap perbedaan individual tersebut. Para psikolog modern telah membuat stansdar untuk memahami kepribadian manusia untuk tujuan pendidikan dan profesionalitas. Kalau perbedaan individual diketahui, amak masing-masing individu tersebut dapat diarahkan pada suatu profesi yang sesuai dengan keampuan yang dimilikinya. Sehingga setiap individu dapat bekerja sesuai dengan kemapuan atau kemahirna yang dimilikinya. Al-quran telah mengisyaratkan perbedaan individual antarmanusia, baik yang menyangkut perbedaan kecenderungan alamiah dan watak keturunan maupun perbedaan yang bersifat proses atau hasil penciptaan.

Alloh SWT berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ  وَاَلْوَانِكُمْ ۗ  اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu, dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."

Rasululloh bersabda:
اِنَّ اللّه تَعَالىَ خَلَقَ اَدَمَ مِنْ قَبْضَةٍ قَبْضَھَا مِنْ جَمِيْعِ الاَرْضِ، فَجَاءَ بَنُوْ اَدَمَ عَلَى قَدْرِ الْأرْضِ،  فَجَاء َ ِمنْھُمْ اَلْأَحْمَر والْأَسْوَد وَبَيْنَ ذَلِكَ،  وَالسَّھْلُ وَالْحَزَنُ والطَّيِّبُ
“sesungguhnya Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS dari genggaman tanah (Bumi) yang dicengkeram oleh Alloh SWT. Lantas anak-anak Nabi Adam AS itu diciptakan dari bahan Bumi, terciptalah mereka dengan berbagai warna kulit, ada yang merah, putih, hitam dan campuran diantara warna tersebut. Adapula yang berwajah ceria,sedih,jelek, dan menarik.

      Hadis ini mengisyaratkan perbedaan manusia dari segi warna kulit, karakter, dan moralnya sebagaimana bumi memiliki warna dan bentuk kawasan yang berbeda-beda. Perbedaan ini pun terdapat dalam diri manusia. Dari segi warna kulit, manusia ada yang baik dan mudah bergaul, ada pula yang buruk dan sulit bergaul. Perbedaan warna, karakter atau kesiapan alami pada tingkat emosional manusia merupakan perbedaan penciptaan yang berasal dari perbedaan strukur badan. Kajian modern mengungkapkan adanya perbedaan anatomi pada kulit manusia yang disebabkan oleh perbedaan warna kulit mereka. Begitu pula dengan warna kulit anak yang disebabkan oleh hukum genetika.
Pernyataan ini pernah disampaikan oleh Mendel. Adapun kajian modern yang dilakukan oleh beberapa psikolog seperti ivan pavlov dan Calvin Hall yang melakukan ujicoba pada beberapa jenis binatang, menyatakan bahwa perbedaan emosional tersebut berasal dari perbedaan struktur badan dan anatomi hewan itu sendiri. Pavlov mengungkapkan bahwa perilaku emosional seekor anjing itu berbeda antara yang satu dan yang dapat dilihat dalam situasi yang dialami seekor anjing. Ada anjing yang menakutkan dan menggonggong kerasa. Ada pula yang tenang seakan tidak memiliki kepedulian.
Dalam suatu uji coba psikolog, pavlov mengutarakan bahwa seekor anjing yang tinggi dan kurus ketika dirasuki emosi kemarahan, anjing itu cenderung menakutkan dan menyerang. Adapun seekor anjing yang gemuk dan pendek ketika sedang marah cenderung bersikap bingung, bahkan kadang cenderung mengantuk. Adapun uji coba yang dilakukan oleh Hall menemukan perbedaan pada beberapa tikus putih dalam tingkat emosi ketakutannya saat dihadapkan pada situasi yang menyeramkan. Keberadaan tingkat emosi ketakutan inipun dapat menurun secara genetika. Kajian yang dilakukan pada tikus tersebut menunjukkan adanya perbedaan anatomi, kuantitas, kelenjar anak ginjal (adrenal glaand), kelenjar gondok, dan kelenjar lendir pada tikus penakut lebih besar dari tikus yang emosi ketakutannya sedikit.
Selain binatang, kita juga dapat melihat adanya perbedaan dalam tingkat waktu dan emosional antar manusia. Ada orang yang cepat marah dan keras hatinya, ada juga tenang dan tingkat kemarahannya sedikit lamban. Hal paling signifikan terjadinya perbedaan tesebut disebabkan adanya perbedaan struktur tubuh, sistem saraf, dan jaringan kelenjar.
Namun, sekarang ini diketahui juga bahwa proses belajar memiliki peran yang cukup signifikan dalam pembentukan perbedaan emosional antar manusia. Bahwa emosi yang mendorong dan muncul pada kondisi dan situasi tertentu sebenarnya dapat dipertahankan dan dipelajari, yang pada akhirnya seseorang cenderung memunculkan emosinya sesuai dengan kondisi dan situasi tertentu.

a. perbedaan tingkat kecerdasan
   Secara umum, tingkat kecerdasan atau intelektualitas mengandung kemampuan nalar seperti memahami atau mengingat dan juga kemampuan belajar. Para psikolog mendefinisikan tingkat kecerdasan atau intelektualitas itu sebagai kemampuan belajar.
    Hadis nabi SAW menunjukkan adanya perbedaan antarmanusia pada tingkat kecerdasan atau intelektualitanya. Hadis tersebut menyebutkan bahwa ada orang yang belajar dengan cepat, mampu memahami sesuatu, atau mengingat seseuatu dan mengajarkannya kepada orang lain.

Diriwayatkan dari Abu hurairah RA bahwa Rasululloh SAW pernah berkata :
  مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللّهُ بِهِ مِنَ الْھُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ اَرْضًا فَكَانَتْ مِنْھَا طَاءِفَةُ طَيِّبَةُ قَبَلَتْ الْمَاءُ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعَشَبَ الْكَثِيْرَ. وَكَانَ مِنْھَا أَجَادِبٌ أَمْسَكَتِ الْمَاءُ فَنَفَعَ اللّٰهَ بِھَا النَّاسَ فَشَرِبُوْا مِنْھَا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا.  وَاَصَابَ طَاءِفَةٌ مِنْھَا أخْرَى إِنَّمَا ھِيَ قِيْعَانِ لَاتَمْسِكَ مَاءً وَلاَ تَنْبُت كَلَأً. فَذَالِكَ مِثْلُ مِنْ فَقَّهَ فِي دِينِ اللّٰه وَنَفَعَهُ مَا بَعَسَني اللّٰه بِهِ فَعَلِّمْ وَ عَلِّمَ، وَ مِثْلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعُ بِذَلِكَ رَأساً، وَلَمْ هُدَى اللّٰه الَّذِى أُرْسِلَتْ بِهِ.
Sesungguhnya perumpamaan hidayah (petunjuk) dan ilmu Alloh SWT yang menjadikan aku sebagai utusan itu seperti hujan yang turun ke bumi. Diantara bumi itu terdapat sebidang tanah subur yang menyerap air dan sebidang tananh itu rumput hijau tumbuh subur. Ada juga sebidang tananh yang tidak menumbuhkan apa-apa walaupun tannah itu penuh dnegan air. Padahal Alloh SWT menurunkan air itu agar manusia dapat meminumnya, mengilangkan rasa haus, dan menanam. Ada juga sekelompok orang yang mempunyai tananh gersang yang tidak ada air dan tidak tumbuh apapun di tananh itu. Gambaran tersebut seperti orang yang mempunyai ilmu agama Alloh SWT dan mau memanfaatkan “sesuatu” yang telah menyebabkan aku diutus oelh Alloh SWT kemudian orang itu memepelajari dan mengerjakannya. Dab seperti orang yang sedikitpun tidak tertarik dengan apa yang telah menyebabkan aku di utus oleh Alloh SWT . ia tidak mendapat petunjuk dari Alloh SWT, yang karenanya aku menjadi utusan-Nya.”
Dalam hadis ini Rasululloh SAW menggambarkan perbedaan antarmanusia dalam kemampuan belajar, memahami, dan mengingatnya. Ketiga kemampuan ini tergolong dalam pengertian intelektualitasnya. Berdasarkan hadis ini dapat disimpulkan bahwa intelektualitas manuisa dapat  diklasifikasikan dalam tiga golongan. Pertama, seperti tananh subur yang berarti orang dalam golongan ini mampu belajar, menghafal, dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada ornag lain sehingga ilmu yang dimilikinya dapat bermanfaat untuk dirinya dan juga bagi orang lain. Kedua, seperti tanah gersang yang berarti orang dalam golongan ini mampu menjaga dan mengajarkannya kepada ornag lain, tetapi ilmu yang dimilikinya tidak bermanfaat untuk dirinya, melainkan hanya untuk orang lain. Ketiga, seperti tanah tandus, yang berarti orang dalam golongan ini tidak tertarik dengan ilmu, apalagi menghafal dan mengajarkannya kepada orang lain.

Rasululloh SAW menunjukkan secara jelas tentnag perbedaan antarmanusia dlam tingkat kecerdasan atau intelektualitas dalam hadisnya:
نَحْنُ مَعَاشِرُ االْنبِيَاءِ أمَرْنَا أَنْ نُنَزًلَ النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ، وُنُكَلِّمُهُمْ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ
kami para nabi diperintahkan untuk mengunjungi rumah orang dna mengajari mereka sesuai dengan kemampuan akalnya.”
            Dalam hadis ini terdapat isyarat tentang perbedaan manusia dalam kemampuan akalnya. Hadis ini juga mengandung pesan bahwa siapa saja yang ingin mengarahkan dan mengajari manusia, baik pengajar itu dari kalangan para nabi maupun par aguru, maka mereka harus memperhatikan perbedaan tingkat kecerdasan atau intelektualitas para muridnya. Setiap individu dari masing-masing mereka harus diajak bicara sesuai dengan tingkat kemampuan akalnya. Secara Eksplisit, hadis ini meletakkan metode dasar pendidikan yang harus diperhatikan oelh para pendidik muslim atau para pendidik masa kini.

b. perbedaan tingkat emosional
   Terdapat hadis yang mengisyaratkan perbedaan manusia pada tingkat emosi kemarahannya. Tingkat emosi kemarahan manusia terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, orang yang tingkat emosinya lambat, jarang mengekspresikan kemarahannya. Kalaupun ia marah, ia akan cepat mengendalikan kemarahannya. Orang semacam ini dikategorikan sebagai manusia yang snagat mulia. Kedua, orang yang emosi kemarahanya terlalu cepat, tetapi ia juga cepat mengendaliknnya. Ketiga, orang yang emosi kemarahnnya terlalu cepat dan jika emosi kemarahnnya muncul, ia sulit mengendalikan dirinya kecuali dalam rentang waktu cukup lama. Orang seperti ini dikategorikan sebagai manusia paling buruk.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA bahwa Rasululloh Saw pernah berkata:
أَلاَ وَإِنَّ مِنْهُمْ (بَنِي ادَمَ) البَطِيءُ الغُضَبُ سَرِيعُ الفَيِّ، وَمِنْهُمْ سَرِيعُ الْغَضَبِ سَرِيْعُ الْفَيِّء، فَتِلْكَ...” بِتِلْكَ، أَلاَ وَاِنَّ مِنْهُمْ سَرِيْعُ الْغَضَب بَطِيْءُ الفَيِّء، ألَاوَخَيْرُهُمْ بَطِيْءُ الْغَضَبِ سَرِيْعُ الفَيِّء، ألَا وَشَرُّهُمْ سَرِيْعُ الغَضَبِ بَطِيءُ الفَيِّء..."
“ingatlah, diantara anak Nabi Adam AS itu ada yang lambat marah dan cepat terkendali. Ada pula yang cepat marah dan cepat pula terkendali. Ingatlah, diantara anak Nabi  Adam AS itu ada yang cepat marah dan lambat terkendali. Ingatlah, sebaik-baik mereka ialah anak Nabi Adam AS yang lambat marahnya dan cepat terkendali. Ingatlah, seburuk-buruk anak Nabi Adam AS ialah yang cepat marahnya dan lambat terkendali.”

           4.      Pengaruh hereditas dan lingkungan pada perbedaan individual
  Para ahli ilmu jiwa modern pernah meneliti batasan setiap pengaruh keturunan (hereditas) dan lingkungan terhadap perbedaan individual. Hasil penelitian tersebut menegaskan adanya faktor keturunan yang signifikan di satu sisi dan faktor lingkungan yang sulit terelakkan di sisi lain. Namun, dari semua hasil penelitian itu para psikolog sepakat bahwa kedua faktor antar keturunan dan lingkungan tersebut saling terkait satu sama lain dan mempunyai pengaruh Satu sama lainnya terhadap karakteristik manusia yang membentuk perbedaan individualnya. Dengan kata lain, masing-masing kedua pengaruh tersebut sulit untuk dipisahkan.
   Persoalan yang kemudian muncul ialah mengetahui seberapa besar relativitas ukuran masing-masing kedua pengaruh ini terhadap perilaku dan karakteristik manusia. Secara sepintas pengaruh heridetas tampak memiliki peran penting dalam pembentukan strukur badan seperti tinggi, berat, dan kuat. Namun, pada saat yang bersamaan kita tidak dapat mengabaikan pengaruh lingkungan dalam pembentukan karakter nalar seperti kecerdasan.  Maksudnya, sesuatu yang dipahami oleh individu dari lingkungannya, baik itu persoalan makanan, kesehatan, hingga olahraga, memiliki pengaruh besar pada perbedaan individual. Begitu juga dengan proses pendidikan dan beberapa pengaruh besar pada perbedaan individual. Begitu juga dengan proses pendidikan dan ketrampilan pun memiliki pengaruh dalam pertumbuhan intelektualitas individu.
   Dengan demikian, jelas bahwa faktor lingkungan baik berupa pendidikan maupun pelatihan merupakan faktor terpenting pada perbedaan individual. Walaupun pada kondisi tertentu kita juga tidak dapat mengabaikan pengaruh keturunan (genetika), terutama kesuksesan dan keahlian yang telah dicapai individu pada tahap akhir perjalanan hidupnya.

4.1  Pengaruh Hereditas
Sesuai hadis yang telah disebutkan, Rasululloh SAW mengisyaratkan pengaruh keturunan terhadap perbedaan individual. Hadis tersebut menyebutkan bahwa Alloh SWT menciptakan Nabi Adam AS dari genggaman Bumi yang Alloh SWT cengkeram.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: seorang laki-laki dari Bani Fazarah pernah datang mengunjungi Nabi SAW. Laki-laki itu berkata: “istriku melahirkan seorang anak yang berkulit hitam.” Lalu Nabi SAW bertanya: “apakah engkau memiliki unta?” laki-laki itu menjawab, “punya.” Nabi SAW bertanya lagi: “apa warna unta itu?” ia menjawab: “merah.” Nabi SAW kemudian bertanya lagi: “Apakah unta tersebut makan dedaunan?”. Laki-laki itu menjawab: “Benar.” Nabi SAW lalu bertnaya lagi: “Mengapa engkau memberinya dedaunan?”. Ia menjawab: “karena aku berharap unta itu melahirkan keturunan.” Nabi SAW lalu berkata: “Semoga unta itu melahirkan keturunan.”
Hadis ini mengisyaratkan dengan jelas pengaruh keturunan terhadap warna yang terlihat pada beberapa kulit badan manusia. Hal ini merupakan pengaruh genetika atau keturunan dari sallh satu nenek moyangnya, jika sifat keturunan tersebut tidak tampak dari sallah satu kedua ornag tuanya.hasil riset modern menegaskan kenyataan ini dengan istilah “sifat keturunan nenek moyang yang mundur” (keturunan).

Rasululloh SAW menyinggung pengaruh hereditas ini dalam salah satu hadisnya:
اِنَّ النُّطْفَةَ إذَا اسْتَفَرَّتْ فِيْ الرَّحِمِ أحْضَرَ هَااللّٰهُ كُلُّ نَسَبٍ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اٰدمَ
“apabila nutfah (sperma) itu menentpa dalam rahim, maka Alloh SWT menghadirkan antara sperma dna Nabi Adam AS. Pada setiap nasab (keturunan).”
   Beberapa kajian ilmiah genetika modern menunjukkan bahwa janin pada setiap binatang bersperma dan bersel telur terbentuk dari campuran nutfah (air mani) yang membentuk sifat genetiknya. Setiap binatang bersperma dan bersel telur memmiliki setengah daari sel yang mengandung 23 kromosom. Ketika kedua sel tersebut bertemu, maka akan terjadi pembuahan. Nutfah yang berpengaruh ini disebut dalam Al-quran:
انَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍ ۖ  نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ  سَمِيْعًۢا بَصِيْرًا
"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat."(q.s al-insan 2)
Dalam salah satu hadis, Rosululloh SAW juga mengisyaratkan pengaruh genetika pada perilaku manusia. Rosululloh bersabda :
تَخَيِرُوا لِنُطْفِكُمْ وَانْكِحُوا الأَكْفَاءَ وَانْكِحُوا اِلَيْهِمْ
“pilihkan untuk sperma (nutfah) kalian, nikahilah orang yang sepadan dan nikahilah mereka.”

4.2  Pengaruh Lingkungan
Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana seoarang anak tersebut tumbuh dan berkembang. Anak juga dipengaruhi oleh kebiasaan dan etika kedua orangtuanya, cara orang tuanya mendidik, teman di sekitarnya, para guru mengajarinya, media informasi yang didapatkannya, peristiwa dan pengalaman yang dilaluinya setiap hari.
Rosululloh SAW mengisyaratkan pentingnya pengaruh lingkungan keluarga terhadap anak, beliau berkata:
“tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan dalam keadaaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan seorang anak menjadi yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang yang melahirkan anaknya. Apakah kalian memberi makannanya dengan baik?.”
Selain orang tua, teman, atau orang  yang terdekat juga memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan perilaku anak, terutama pada masa remaja. Biasanya teman yang moralnya buruk kadang juga akan mempengaruhi orang yang sering menemaninya. Hal yang membuat para remaja banyak berperilaku menyimpang dan tenggelam ke dalam perilaku buruk serta tindakan kriminal seringkali dikarenakan oleh pengaruh dari temannya yang buruk. Pengaruh teman ini diperkuat oleh beberapa studi yang menyoroti tindakan penyimpangan mereka. Oleh karena itu memilih teman yang baik dan mejahui teman yang buruk moralnya bagi anak-anak harus mendapat perhatian dari kedua orang tua. Rosululloh SAW mengisyaratkan pengaruh teman ini. Beliau berwasiat agar seorang memilih teman yang baik dan menjahui teman yang buruk.

Diriwayatkan dari Abu Musa RA bahwa Rasululloh SAW pernah berkata:
انَّمَا مَثَلُ الجَلِيْسُ الْصَالِحُ وَالْجَلِيْسُ الْسَيِّء كَحَامِلُ الْمِسْكِ وَنَافِخُ الْكَبِيْرِ. فَحَامِلُ الْمسْك اِمَّاَ أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أنْ تُبْتَاعَ مِنْهُ، وَاِمَّا اَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكَيْرِ إمَّا اَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَاِمَّا اَنْ تَجِدَ فِيْهِ رِيْحًا خَبيْثَةً
“Perumpamaan seorang teman yang sholeh dan teman yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi bisa saja memberikan minyaknya kepadamu ayau kamu menjualkannya atau juga kamu bisa mencium bau wanginya. Adapun orang yang pandai besi, kalau tidak membakar pakaianmu, maka kamu akan mencium bau yang tidak sedap.”
Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa manusia dapat belajar banyak tentang kebiasaan, moral, dan nilai, serta orientasi pemikiran dari lingkungan sosial dan budaya dimana manusia tumbuh. Jika kebiasaan manusia tersebut sudah mendarah daging maka kebiasaan tersebut akan sulit dihilangkan, akan tetapi kebiasaan tersebut dapat dirubah dengan cara usaha dan kemauan keras untuk merubah kebiasaan tersebut menjadi lebih baik. Oleh karen itu pendidikan anak-anak harus mendapat perhatian khusus dari orang tua agar kebiasaan baik yang sebenarnya telah dimiliki seorang anak dapat terjaga sejak kecil.
Rosululloh SAW mengisyaratkan kebiasaan buruk yang telah mengakar dan bersemayam dalam perilaku manusia. Kebiasaan tersebut akan muncul secara spontan, Begitu juga sebaliknya. Dalam konteks ini Rosululloh SAW bersabda:
تُعْرِضُ الْفِتَنُ علَىَ الْقُلُوْبِ كَالْحَصِيْرِ عَوْدًا عَوْدًا فَأَيُّ قَلْبٍ أَشْرَبَهَا نُكِتَ فِيْهِ نُكْتَةً سَوْدَاء،  وَأيُّ قَلْبٍ اَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيْهِ نُكْتَةً بَيْضاَءَ حَتَّى تَصِيْرَ عَلَى قَلبَيْنِ عَلَى اَبْيَضِ مِثْلُ الصَّفَا فَلَا تُضِرُّهُ فِتْيَةً مَا دَامَتِ السّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَالْاٰخَر أَسْوَدَ مُرْبَادًا كَالْكُوْزِ مُجْخِيًا مُجْخِيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إلَّا مَا أشْرَبَ مَنْ هَوَاهُ...
“setiap fitnah itu dapat membahayakan setiap hati seperti orang bakil yang semakin har semakin bakil. Maka hati siapa saja yang meneguknya, maka akan terdapat titik hitam didalamnya. Dan hati siapa saja yang berpaling darinya, maka akan terdapat titik  putih. Sehingga salah satu hati itu akan menjadi putih menjadi seperti kejernihan yang sulit dipengaruhi oleh fitnah selama masih ada langit dan Bumi. Adapun hati yang hitam akan menjadi titik hitam kelam seperti panci yang terbalik yang tiada kebaikan dan keindahan. Hati semacam itu karena tidak berpaling dari kemungkaran, bahkan meneguk setiap fitnah karena hawa nafsunya.”
Dalam hadis ini Rasululloh SAW menggambarkan pengaruh fitnah dan lingkungan yang buruk tehadap perilaku manusia. Siapa saja yang bersikap pasarah da menerima dengan lingkungan tersebut bahkan berpihak dan mencintainya, maka hati seseorang akan meninggalkan pengaruh seperti titik hitam. Jika hati seseorang sering terkena fitnah dan pengaruh lingkungan yang buruk dan cenderung mencintai pengaruh tersebut, maka titik hitam dalam hatinya akan semakin banyak hingga hati orang itu berwarna hitam kelam. Gambaran ini menunjukkan kondisi hati manusia yang tidak memiliki keimanan, ia dikuasai oleh kebiasaan buruk dan etika yang tercela. Rasululloh SAW menggambarkan hati yang kelam tersebut seperti panci yang terbalik yang tidak ada keindahan sedikitpun. Adapun manusia yang sejak kecil tumbuh diatas sifat keutamaan dan akhlak yang baik serta cenderung bertakwa, maka ia akan menolak pengaruh fitnah dan lingkungan yang buruk. Hal itu karena keimannya yang kuat dan jauh dari kejelekan dan keburukan seperti batu yang halus dan licin yang tidak terkena kotoran sedikitpun.
5.       Tipe Kepribadian
     Al-quran mengklasifikasikan manusia berdasarkan keimannya menjadi tiga tipe. Mereka itu ialah orang mukmin, kafir, dan munafik. Rosululloh SAW juga mengklasifikasikan manusia berdasarkan keimannya ke dalam empat tipe. Mereka itu ialah orang yang beriman, kafir, munafik, dan orang yang hatinya bercampur antara keimanan dan kemunafikan.
Rosululloh SAW berkata:
“Hati (manusia) itu terbagi atas empat. Pertama, hati yang tidak ternodai seperti lampu yang bersinar. Kedua, hati yang tertutup karena terikat oleh tutupnya. Ketiga, hati yang terbalik. Keempat, hati yang tertempa. Adapun hati yang tidak ternodai ialah hati yang tertutup ialah hati seorang yang beriman, lampu hatinya merupakan cahayanya. Adapun hati yang tertutup ialah hati orang yang kafir. Hati yang terbalik ialah hati orang yang munafik, ia mengetahui kebenaran tetapi ia memungkirinya. Adapun hati yang tertempa ialah hati yang memiliki keimanan dan kemunafikan. Artinya, keimanan dalam hati ini seperti sayuran yang berisi air yang segar, sedangkan kemunafikan dalam hati ini seperti luka yang berisi nanah dan darah. Dari kedua isi tersebut tidak diketahui isi yang mana yang dapat mengalahkan isi yang lain.”
         Setiap dari keeampat tipe yang digambarkan dalam hadis tersebut dapat kita bagi lagi kedalam dua bagian. Seorang mukmin, misalnya, dapat terbagi menjadi dua tipe, yakni mukmin yang bertakwa dan mukmin yang hanyut dalam kemaksiatan.

Rasuluallah SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh abu hurairah RA pernah berkata:
اِنَّ الله قَدْ أذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيِّةَ الْجَاهِلِيَةِ وَفَخَّرَهَا بِالْ ابَاءِ , مُؤْمِنٌ تَقِيِّ وَمُؤْمِنٌ فَاجِرٌ, أنْتُمْ بَنُوْ ادَمَ, وادَمَ مِنْ تُرَابٍ . . . الحديث
“ sesungguhnya allah swt telah menghapus kesombongan jahiliyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Mukmin yang beriman dan mukmin yang bergelimang dosa, kalian semua adalah anak nabi adam AS dan nabi adam AS itu berasal dari tanah.
        Dalam hadis ini Rasulullah SAW membagi orang yang beriman berdasarkan tingkat keimanan dan ketakwaan mereka menjadi dua golongan:
Orang yang beriman dan orang yang bergelimang dosa. Dalm hadis lain rasuluallah SAW membagi manusia berdasarkan keimanannya kedalam dua tipe yang lebih spesifik, yakni orang yang beriman dan berpegang teguh dengan keimannya sehingga meninggal duia, dan orang mukmin yang melahirkan anak yang tumbuh di lingkungan orang kafir, tetapi ia tetap beriman hingga ia meninggal dunia. Adapun golongan kedua, yakni orang kafir yang melahirkan anak yang kafir dan hidup dalam kekafiran hingga meninggal dunia dan orang kafir yang melahirkan anak kafir yang tumbuh dalam lingkungan orang yang beriman, kemudian ia hidup dalam keimanan. Ia lalu keluuar dari keimanannya hingga ia meninggal dunia hingga kekafiran.

Diriwayatkan dari abu Sa’id Al-khudri RA bahwa rasuluallah SAW pernah bersabda:
. . . أَلَ إنَّ بَنِي ادَمَ خَلَقُوْا عَلَى طَبَقَات شَتَّى. فَمِنْهُمْ مَنْ يُوَلِّدُ مُؤْمِنًا وَيَحْيَا مُؤْمِنًا وَيَمُوْتُ مُؤْمِنًا. وَمِنْهُمْ مَنْ يُوَلِّدُ كَافِرًا وَيَحْيَا كَافِرًا وَيَمُوْتُ كَافِرًا. وَمِنْهُمْ مَنْ يُوَلِّدُ مُؤْمِنًا وَيَحْيَا مُؤْمِنًا وَيَمُوْتُ كَافِرًا. وَمِنْهُمْ مَنْ يُوَلِّدُ كَافِرًا وَيَحْيَا كَافِرًا وَيَمُوْتُ مُؤْمِنًا . . . الحديث
 “ingatlah, sesungguhnya anak Nabi Adam AS itu diciptakan dalam tingkatan yang berbeda. Di antara mereka adalah orng yang melahirkan anak yang di iman, ia hidup dan mati menjadi orang yang mukmin. Dan di antara mereka ialah orang yang melahirkan anak yang kafir, ia hidup dan mati dalam kekafiran. Adapula di antara mereka yang melahirkan anak yang mukmin, hidup dalam keadaan mukmin tetapi ketika meninggal dunia, ia dalam keadaan kafir adapula di antara mereka orang yang melahirkananakyang kafir, hidup dalam keadaan kafir, tetapi mati dalam keadaan beriman.”
       Pembagian manusia kedalam beberapa tipe berdasarkan keimanan ini, baik yang tersebut kedalam Al-qur’an maupun hadis, sejalan dengan sudut pandang islam yang menyatakan bahwa iman adalah iman nilai kemanusiaan yang tertinggi. Atas dasar inilah dasar kepribadian manusia dapat dinilai sebagai mana yang akan diterngkan pada persoalan penilaian kepribadiaan.
Rasulullah SAW. Membagi manusia berdasarkan kecendrungan emosinya dalam tiga tipe:
1.      marahnya lambat dan cepat terkendali.
2.       Marahnya cepat dan cepat terkendali.
3.      Marahnya cepat dan lambat terkendali.

6.      Pembentukan pribadi
Keimanan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Keimanan dapat mengarahkan dan membatasi perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Keimanan merupakan nilai yang dapat mengukur segala sesuatu dan aktivitas dan karena keimananlah manusia terbagi ke dalam tipe yang telah di uraikan.
Manusia yang paling utama dalam pandangan islam adalah orang yang paling kuat keimanan dan ketaqwaannya. Allah SWT berfirman:
يااَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا  ۗ  اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ  ۗ  اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." )QS Al Hujarat:13(
Rasulullah SAW pernah di tanya, “siapakah orang yang paling mulia?” beliau menjawab: “orang yang paling bertaqwa di antara mereka.” Dengan demikian, nilai manusia dalam pandangan islam tergantung pada tingkat keimanan, ketaqwaan, amalan, dan moralnya. Bukan karena keturunan atau nasab atau karena memiliki harta yang melimpah, atau kekuasaan dan pangkat yang tinggi atau juga rupa yang tampan atau cantik.

Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّهُ لَيَأْتِىى الرَّجُلُ الْعَظِيْمُ السَّمِيْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَ يَزِيْدُ عِنْدَ الله جِنَاخٌ بِعَوْضَةٍ وَقَالَ: فَلَ نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْنَا
“Sesungguhnya di hari kiamat akan datang seorang laki-laki yang besar dan gemuk yang tiada tempat tambahan di sisi Allah SWT sama sekali dan beliau berkata: Bacalah, maka kami dirikan untuk mereka timbangan di hari kiamat.”

Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ لَ يَنْظُرُ إِلَى صُوُرِكُمْ وَأَمْوَ الِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“sesungguhnya Allah SWT tidak melihat bentuk rupa dan harta kalian.”

      7.      Teori-teori kepribadian
Dalam upaya memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah yang dihadapi, ternyata tidak semua individu mampu menampilkan secara wajar, normal atau sehat (well adjustment); di antara mereka banyak juga yang mengalaminya secara tidak sehat (maladjustment).
            E.B. Hurlock (1986) mengemukakan bahwa karakteristik penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healthy personality) ditandai dengan.
a. Mampu menilai diri secara realistik.
b. Mampu menilai situasi secara realistik.
c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik.
d. Menerima tanggung jawab.
e. Kemandirian (autonomy).
f. Dapat mengontrol emosi.
g. Berorientasi tujuan.
h. Berorientasi keluar.
i. Penerimaan sosial.
j. Memiliki filsafat hidup.
k. Berbahagia.

7.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman teori kepribadian
Menurut Stefflre dan Matheny ada beberapa faktor yang mempengaruhi keragaman teori kepribadian, yaitu sebagai berikut :
1.      Personal, teori merupakan refleksi dari kepribadian pembangunnya (personality of its builder).
2.      Sosiologis, corak kehidupan sosial budaya tempat pembangun teori itu hidup.
3.   Filsafat, cara pandang yang dianut oleh pembangun teori tentang suatu fenomena kehidupan.
                        4.   Agama, keyakinan yang dianut oleh pembangun teori.





PENUTUP

Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa kepribadian itu merupakan bentuk interaksi yang dilakukan seorang individu dengan individu lain, dimana kepribadian ini secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan sesuai kondisi dimana individu tersebut berada.
Islam pun telah menjelaskan bagaimana pentingnya memiliki kepribadian yang baik, sebagaimana yang telah dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah SAW. Membentuk kepribadian yang baik memproses diri menyerap nilai-nilai ketuhanan, kenabian dan selanjutnya mengimplementasikannya ke seluruh aspek kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nabi Muhammad SAW merupakan pintu utama bagi setiap hamba yang ingin membangun kepribadian yang baik tersebut.
Meniru dan mengikuti jejak Rasulullah SAW termasuk perbuatan mulia nan agung, yang menjadikan seorang muslim berhasrat mempraktekan perbuatan mulia tersebut, dapat berharap akan kebaikan dunia dan akhirat. Di antara manfaatnya yaitu dapat menghantar kepada cinta dan ampunan Allah SWT, menghantarkan kepada rahmat Allah SWT yang sangat luas, menjamin diterimanya amal perbuatan, menjamin hidayah dari Allah dan termasuk sunnah Nabi. Islam juga menyerukan kepada manusia agar memiliki pendirian dalam hidup ini dan selalu menjauhi sifat keji.





DAFTAR PUSTAKA
Najati, Ustman Muhammad, Psikologi dalam persepektif Hadis,(jakarta: PT Pustaka Al-Husna).2004
Yusuf, Syamsul, Teori Kepribadian,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset).2012

2 komentar untuk "Kepribadian dalam Perspektif Hadits"

  1. Assalamualaikum wr wb. Maaf sebelumnya. Saya ingin mengajukan pertanyaan mengenai paparan yang kalian buat Jadi begini , implementasi seperti apakah yang bisa diterapkan jika ingin membentuk kepribadian seorang Muslim menurut sistematika persepektif hadis? Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wassalamualaikum Wr. Wb
      Seperti yg sudah d jelaskan dalam makalah diatas, bahwa pembentukan kepribadian didasarkan pada keimanan, dalam hadis juga disebutkan bahwa Rosululloh SAW mengklasifikasikan tipe kepribadian manusia menurut keimanannya ke dalam empat tipe. Mereka itu ialah orang yang beriman, kafir, munafik, dan orang yang hatinya bercampur antara keimanan dan kemunafikan.
      Maka penerapan untuk membentuk kepribadian itu sendiri adalah bagaimana cara kita agar selalu bertakwa kepada Alloh.Semakin kita bertakwa kepada Alloh maka kepribadian akan terbentuk dengan baik yaitu menjadikan kita manusia yg beriman kepada Alloh. Dengan kata lain pembentukan kepribadian manusia yang utama dilihat dari seberapa besar keimananan, ketakwaan ia kepada Alloh, karena hal tersebut lah yg menjadi kunci dan acuan ia dalam membentuk kepribadian.

      Hapus

Posting Komentar