Pemikiran Kalam Ismail Raji Al-Faruqi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karakteristik ajaran Islam yang paling menonjol dan menduduki tingkat pertama adalah tentang ketuhanan. Dengan demikian, jelas bahwa Tauhid menjadi inti sari di samping adanya syari’at dalam ajaran Islam. Segala sesuatu bersumber dari Tuhan dan Tuhan adalah tolok ukur bagi segala bentuk realitas. Inilah salah satu aspek penting yang dijadikan acuan dalam memahami keesaan Tuhan.
Di sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari peran Barat sebagai latar belakangnya, seperti kesadaran umat Islam untuk belajar dan menimba ilmu di Barat. Dengan ini, Islam sebagai agama yang universal mencoba merangkul semuanya dengan tidak memisahkan antara agama dan pengetahuan seperti sekulerisme yang diterapkan di Barat.
Dengan demikian, penulis ingin mengetahui mengenai “Pemikiran Kalam tentang Tauhid sebagai Identitas Ilmu Pengetahuan” yang diusung oleh Ismail Raji Al-Faruqi. Dimana di dalamnya terdapat biografi dan karya intelektual beliau, serta pemikian kalam al-Faruqi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dan karya intelektual Ismail Raji Al-Faruqi ?
2. Bagaimana pandangan atau pemikiran kalam Ismail Raji Al-Faruqi ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang riwayat hidup dan karya intelektual dari Ismail Raji Al-Faruqi
2. Untuk menjelaskan tentang pemikiran kalam yang dibawa oleh Ismail Raji Al-Faruqi
D. Manfaat Penulisan
1. Agar pembaca mengerti mengenai riwayat hidup dan karya intelektual Ismail Raji Al-Faruqi
2. Agar pembaca mengetahui tentang pemikiran kalam Ismail Raji Al-Faruqi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi dan Karya Intelektual Ismail Raji Al-Faruqi
Ismail Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal secara luas sebagai ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Tokoh yang juga dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme ini memulai studi di College Des Freres Libanon. Pada 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang filsafat diperoleh dari universitas tersebut pada usia 20 tahun. Ia kemudian menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun, dan bahkan sempat menjabat sebagai gubernur di daerah Galile yang kemudian jatuh ke tangan Inggris pada 1947. Pada tahun berikutnya al-Faruqi memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat dan melanjutkan studinya yang sempat terhenti.
Al-Faruqi mengenyam pendidikan yang menjadikannya menguasai tiga bahasa (Arab, Prancis, dan Inggris). Di negeri Paman Sam, ia melanjutkan studinya di Indiana University pada tahun 1948, hingga mencapai gelar master dalam bidang filsafat. Dua tahun berikutnya memperoleh gelar master di Harvard University, juga dalam bidang yang sama. Untuk memperdalam ilmu keislaman, empat tahun berikutnya ia menimba ilmu di Al-Azhar University, Kairo Mesir. Setelah tuntas menimba ilmu, Al-Faruqi, kemudian melakukan penelitian di pusat-pusat utama ilmu di dunia Islam dan Barat sebagai Guru Besar Tamu Studi Islam di Institut Studi-studi Islam dan di Fakultas Teologi, Universitas McGill (1959-1961), tempat dia mempelajari Kristen dan Yahudi; Profesor Studi-studi Islam di Institut Pusat Riset Islam di Karachi, Pakistan (1961-1963); dan Guru Besar Tamu untuk sejarah Agama-agama di Universitas Chicago (1963-1964). Selama 10 tahun dia tampil sebagai seorang Muslim Arab yang mewarisi modernisme Islam dan empirisme Barat, dan pada akhir 1960 an hingga awal 1970 an dia secara progresif berperan sebagai sarjana aktivis Islam. Islam dalam pandangannya, merupakan suatu ideologi yang serba meliputi, identitas primer bagi suatu komunitas orang beriman (umat) sedunia dan prinsip pemandu bagi masyarakat dan budaya. Al Faruqi mendasarkan interpretasi Islamnya pada doktrin tauhid (keesaan Tuhan), memadukan penegasan klasik sentralitas keesaan Tuhan (monoteis) dengan interpretasi modernis (ijtihad) dan penerapan Islam dalam kehidupan modernis.
Dalam kitabnya Tawhid: Its Implications for Thought and Life, ia melukiskan tauhid sebagai esensi pengalaman keagamaan, inti Islam, dan prinsip sejarah, pengetahuan, etika, estetika, umat (komunitas Muslim), keluarga, serta tatanan politik sosial ekonomi, dan dunia. Pandangan dunia Islam dari aktivis holistis ini terwujudkan dalam fase baru kehidupan dan kariemya ketika dia menulis secara ekstensif, memberikan kuliah dan berkonsultasi dengan berbagai gerakan Islam dan pemerintah nasional, serta mengorganisasikan kaum Muslim Amerika. Selama 1970-an dia mendirikan program studi-studi Islam, merekrut dan melatih mahasiswa Muslim, mengorganisasikan profesional Muslim, membentuk dan mengetuai Panitia Pengarah dalam studi studi Islam Akademi Agama Amerika (1976-1982), aktif dialog antaragama internasional yang di dalamnya ia menjadi juru bicara utama Islam dalam dialog dengan agama-agama lain di dunia. Al Faruqi adalah pendiri atau pemimpin banyak organisasi seperti Perhimpunan Mahasiswa Muslim dan sejumlah perhimpunan profesional Muslim seperti Perhimpunan Ilmuan Sosial Muslim. Al Faruqi juga menjadi dewan Pengawas perwakilan Islam Amerika Utara; mendirikan dan menjadi presiden pertama Perguruan Tinggi Amerika di Chicago; pada 1981 membentuk Institut Internasional bagi Pemikiran Islam di Virginia.
Inti dari visi al-Faruqi adalah islamisasi pengetahuan. Ia menganggap kelumpuhan politik, ekonomi, dan religio-kultural umat Islam terutama merupakan akibat dualisme sistem pendidikan di dunia Muslim. Problem ini dapat diselesaikan dengan dua hal pokok, yaitu mengkaji peradaban Islam dan islamisasi pengetahuan modern. Terkait persoalan ini, al-Faruqi melihat pentingnya mengelaborasi pendidikan secara integral. Ia mensinyalir pendidikan Barat yang dijiplak di dunia Islam berubah menjadi sebuah karikatur dari prototype Barat. Materi materi dan metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam, hampir secara keseluruhan berkiblat pada Barat, padahal hasil dari jiplakan itu tidak mengandung wawasan yang menyeluruh. Menurutnya, materi dan metodologi yang hampa itu terus memberi pengaruh jelek yang mendeislamisasikan para mahasiswa, dengan berperan sebagai alternatif-alternatif bagi materi-materi dan metodologi Islam. Inilah persoalan krusial yang dihadapi dunia Islam yang perlu diselamatkan dengan membangun fondasi ilmiah berbasis tauhid.
Maka, semangat kritik ilmiah dan kecakapan dalam bidang keilmuan membuat al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim ( The Assosiation of Muslim Social Scientist). Ia menjadi presiden pertama pada organisasi ini sejak tahun 1972 hingga 1978. Al-Faruqi juga berperan penting dalam pembentukan lembaga Internasional (The Internasional Institute of Islamic thought). Kedua lembaga tersebut secara bersama-sama menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Social Sciences.
Tetapi sangat disayangkan aktivitas al-Faruqi dan kepiawaiannya harus berakhir dengan peristiwa yang sangat tragis, ia meninggal dunia pada 1986 bersama istrinya Lamiya al-Faruqi dalam peristiwa pembunuhan secara brutal oleh orang yang tak dikenal, di rumah mereka Wyncote, Philadelphia. Misteri pembunuhan itu berkaitan erat dengan kecamannya terhadap Zionisme Israel serta dukungannya kepada rakyat Palestina yang merupakan tanah airnya.
Al-Faruqi adalah ilmuan yang produktif. Ia berhasil menulis lebih dua puluh buku dan seratus artikel. Di antara bukunya yang terpenting adalah Tauhid its Implications for Thought and Life (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara lengkap yang tidak hanya dipahami sebagai ungkapan lisan, tetapi dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik, sosial, dan budaya. Dari sini kita dapat melihat titik tolak pemikiran al-Faruqi yang memiliki pengaruh pada pemikirannya pada bidang-bidang lain.
Kemudian buku Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982), menampilkan pikiran yang cemerlang dan kaya, serta patut dijadikan rujukan penting dalam masalah Islamisasi ilmu pengetahuan, di dalamnya terangkum langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam proses islamisasi tersebut.
Karyanya yang berhubungan dengan ilmu perbandingan agama juga cukup banyak, karena ia sendiri adalah orang yang ahli dalam perbandingan agama. Meski ia dipandang kurang sukses sebagai ahli perbandingan agama, akan tetapi karya karyanya banyak mengapresiasi agama-agama lain. Ia lebih mengambil posisi sebagai pendebat dan pendakwah berkarakter yang membela dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Bukunya yang secara khusus membahas perbandingan agama adalah Cristian Ethics, Trilouge of Abraham Faits, yang mengkaji tiga agama (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang mengupas isu-isu sentral seperti keadilan dan perdamaian.
Karya lain yang dianggap monumental berjudul Cultural Atlas Islam, yang ditulis bersama istrinya, Louis Lamiya al-Faruqi, dan diterbitkan tak lama setelah keduanya meninggal. Tulisan tulisannya yang lain seperti The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple University Press, 1973); Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan, 1961); Particulurisme in the Old Testament and Contemporary Sect in Judaism (Cairo: League of Arab States, 1963); The Great Asian Religion (New York: Macmillen, 1969), serta banyak lagi artikel dan makalah yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.
B. Pemikiran Kalam Ismail Raji Al-Faruqi
Secara umum al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Semua pemikirannya saling terkait satu sama lain, dan berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid. Pemikiran al-Faruqi tentang Tauhid yang dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik, sosial, ekonomi, dan budaya sedikit banyak telah memberikan pencerahan baru tentang keilmuan Ilmu Kalam kontemporer. Signifikansi inilah yang membuat penulis tertarik mengkaji pemikiran al-Faruqi dalam buku ini. Berikut beberapa pemikiran Kalam Rajl al-Faruqi.
1. Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral pemikiran Islam adalah pemurnian tauhid, karena nilai dari keislaman seseorang itu adalah pengesahan terhadap Allah SWT. yang terangkum dalam syahadat. Upaya pemurnian tauhid ini pun telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu, di antaranya kita mengenal adanya gerakan wahabiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
Menurutnya kalimat “Tauhid” tersebut mengandung dua arti, yang pertama “al-nafy” (negatif) dan kedua “al-itsbat” (positif). Kalimat “La ilaha” (tiada Tuhan yang berhak disembah) yang berarti tidak ada apa pun; dan kalimat “Illa Allah” (melainkan Allah) berarti yang benar dan berhak disembah hanyalah Allah Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dalam bukunya, al-Faruqi menyebutkan setiap takhayul, sihir, melibatkan pelaku atau pemanfaatannya dalam kegiatan syirik yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran tauhid.
Konsep Tauhid yang digagas al-Faruqi bukan sekadar dinyatakan dengan lidah dan ikrar akan keesaan Allah serta kenabian Muhammad SAW, akan tetapi berkaitan erat dengan segenap aspek kehidupan. Walaupun ikrar dan syahadat oleh seorang Muslim mengkonsekuensikan sejumlah aturan hukum di dunia, namun tauhid yang merupakan sumber kebahagiaan abadi manusia dan kesempurnaanya tidak berhenti pada kata kata dan lisan semata. Lebih dari itu tauhid harus merupakan suatu realitas batin dan keimanan yang berkembang di dalam hati, dan prinsip mendasar dari seluruh aspek kehidupan manusia, sebagaimana yang digambarkan dalam kebenaran universal tentang Pencipta dan Pelindung alam semesta. Itulah sebabnya, Tauhid merupakan spirit bagi manusia dengan pandangan baru tentang kosmos, kemanusiaan, pengetahuan dan moral serta eskatologi yang memberikan dimensi dan arti baru dalam kehidupan manusia dalam mengatur hidup manusia, termasuk hal-hal spesifik tentang perdamaian global, keadilan, persamaan, dan kebebasan.
Bagi al-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah Tauhid, yakni tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, Pencipta Mutlak, dan Penguasa segala yang ada. Oleh karenanya, Tauhid menjadi identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya dan menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai suatu kesatuan yang integral, komprehensif, dan organis.
Menurut al-Faruqi terdapat beberapa prinsip yang dapat menopang bangunan peradaban manusia, antara lain:
a. Prinsip kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang berarti bahwa realitas terdiri dari tingkatan alamiah (ciptaan) dan tingkat transenden (Pencipta).
b. Prinsip kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah memberi pengertian bahwa Allah adalah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab sesuatu yang bukan Tuhan. Ia pencipta atau sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu yang bukan Tuhan.
c. Prinsip kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah menegaskan tentang tujuan akhir alam semesta, sekaligus memberi mandat kepada manusia dalam berbuat kebaikan dengan untuk menundukkan alam semesta.
d. Prinsip kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah juga memberi arti manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat. Kemerdekaan ini memberi manusia sebuah tanggung jawab terhadap segala tindakannya.
Keempat prinsip di atas dirangkum oleh Raji al-Faruqi dalam beberapa dua istilah, sebagai berikut. Pertama, Dualitas, yaitu realitas terdiri dari dua jenis; Tuhan dan bukan Tuhan; Khalik dan makhluk. Jenis yang pertama hanya mempunyai satu anggota, yakni Allah SWT. Hanya Dialah Tuhan yang kekal, Pencipta yang Transenden. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Jenis kedua adalah tatanan ruang waktu, pengalaman, penciptaan. Di sini tercakup semua makhluk, dunia benda-benda, tanaman dan hewan, manusia, jin, malaikat dan sebagainya. Kedua jenis realitas tersebut (Khaliq dan makhluk) mutlak berbeda dalam wujud dan ontologinya.
Kedua, ldeasionalitas. Yakni hubungan antara kedua tatanan realita ini. Titik acuannya adalah dalam diri manusia, yakni dalam fakultas pemahaman, suatu organ dan tempat menyimpan pengetahuan yang mencakup seluruh fungsi genealogis. Anugrah ini cukup luas untuk memahami kehendak Tuhan melalui pengamatan dan atas dasar penciptaan Kehendak Sang Penguasa yang harus diaktualisasikan dalam ruang dan waktu. Dari perspektif inilah manusia harus terjun dalam hiruk pikuk dunia dan sejarah serta menciptakan perubahan yang dikehendaki.
2. Tauhid dan Relasi Sosial
Implikasi dari konsep Tauhid yang dikembangkan al-Faruqi adalah lahirnya tatanan ummah, suatu kumpulan warga yang organis dan padu yang tidak dibatasi oleh tanah kelahiran, kebangsaan, ras, kebudayaan, totalitas, dan bertanggung jawab dalam kehidupan bersama-sama. Tak syak lagi, Tauhid merupakan pedoman dari keseluruhan kesalehan, religuistas, dan seluruh kebaikan. Dalam hal ini wajarlah jika Allah SWT. dan Rasul Nya menempatkan Tauhid pada status tertinggi dan menjadikannya sebagai penyebab kebaikan dan pahala yang terbesar. Oleh sebab itu, ajaran Tauhid harus dimanifestasikan dalam seluruh aspek kehidupan dan dijadikan dasar kebenaran Islam.
Pandangan Tauhid al-Faruqi sebenarnya berdasarkan pada keinginan untuk memperbarui dan menyegarkan kembali wawasan ideasional dari pembaru gerakan Salafiyah, seperti Muhammad bin Abdul Wahab (1701-1793), Muhammad Idris As-Sanusi (1889 1983), dan Hasan Al-Banna (lahir 1906).
Landasan dasar yang digunakan olehnya ada tiga yaitu: Pertama, umat Islam di dunia keadaannya tidak menggembirakan, kedua, diktum ilahi yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan,yang ada pada diri mereka sendiri” sebagai sebuah ketentuan sejarah; dan ketiga, Umat Islam di dunia tak akan bisa bangkit kembali menjadi “umatan wasathan” jika ia tidak berpijak pada Islam yang telah memberikan ke padanya rasio detre, karakter serta kejayaannya selama berabad abad. Inilah pemikiran Kalam Raji al-Faruqi, yang akhirnya terkait dengan pemikiran pemikirannya dalam aspek lain, seperti islamisasi ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya.
3. Tauhid dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ide tentang “islamisasi ilmu pengetahuan” yang digagas al-Faruqi berkaitan erat dengan konsep tauhidnya. Ide ini berpijak pada upaya menghindari kerancuan Barat dalam menyipakapi ilmu pengetahuan. Al-Faruqi mengajukan prinsip tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, yang terdiri dari tiga prinsip, sebagai berikut:
a. Penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan terhadap ajaran Islam, karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Prinsip ini melindungi umat Islam dari opini, yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
b. Prinsip “Tidak ada kontraksi yang hakiki” untuk melindunginya dari kontradiksi di satu pihak, dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Tampa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skeptisisme; sebab suatu kontradiksi yang hakiki mengandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak akan pernah dapat diketahui.
c. Prinsip Tauhid sebagai kesatuan kebenaran, yaitu keterbukaan terhadap bukti baru yang bertentangan, melindungi kaum Muslimim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum Muslimin kepada sikap rendah hati dan optimis dalam membangun peradaban.
Sebagai penegasan atas kesatupaduan sumber kebenaran yaitu Tuhan pencipta alam, di mana manusia memperoleh pengetahuannya,kiranya perlu dipahami secara integral tentang pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan sebagai objek kebenaran. Hal inilah yang banyak dilupakan Barat, sehingga timbul ide untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Selain itu, kondisi umat Islam yang cendemng latah mengadopsi semua ide Barat, bahkan tanpa fllter pada akhimya menempatkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran ilahiyah mengalami proses sekulerisasi dan pendangkalan hingga mengantarkan ilmuwan pada terlepasnya semangat dari nilai-nilai keagamaan.
Sebelum mengurai konsep “islamisasi” yang digagas al-Faruqi, perlu diperjelas dahulu konsep ini dari sisi terminologis. Dalam hal ini ada tiga bahasan yang perlu diperjelas permasalahannya; islamisasi, ilmu, dan pengetahuan. Pertama, islamisasi berasal dari akar kata ”salima” yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai diubah menjadi bentuk ”aslama” yang berarti berserah diri dan masuk dalam kedamaian. Akar kata ini jika dikembangkan ke dalam pengertian terminologis mempunyai makna sebagai agama atau ketetapan Allah agar manusia menerima segala yang disampaikan oleh Rasulullah SAW baik Al Qur’an maupun Hadis, serta hokum-hukum yang disyariatkan. Firman Allah, "Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah agama Islam” (QS. Ali Imman: 19). Berangkat dari defmisi ini, maka islamisasi merupakan proses penyesuaian sebuah fenomena dengan ajaran Islam. Konsekuensi logisnya, Islam berperan sebagai pemberi kriteria etis.
Kedua, istilah ilmu. Kata “ilmu” berasal dari ilm, kata jadian dari alima, ya’lamu, menjadi ilmun dan seterusnya. Franz Rosental, seperti dikutip oleh Dawam Rahardjo, menjelaskan bahwa akar kata a-I-m dalam bahasa Arab tidak mempunyai persamaan dengan akar kata bahasa-bahasa Semit lainnya. Seperti akar kata y-d-’a, yang merupakan akar kata bersama bahasa-bahasa Semit lainnya, yang berarti “mengetahui", justru tidak dipakai dalam bahasa Arab. Persamaan akar kata a-l-m baru mendapat padanan dalam akar kata “a-y-w” yakni tanda (sign, mark). Jelas, ini menimbulkan kesan bahwa terdapat kaitan antara “tahu” dan “tanda” dalam bahasa Arab. Padanan ini diperjelas dengan makna leksikal Al Qur’an yang menunjuk “ilm” sebagai "idzrak al-syai” (menyadari sesuatu).
Jika kita setuju dengan padanan ini, maka “mengetahui” lebih di maksudkan sebagai bentuk muta’adi (verb transitif) “ilm” dan “ayah” (tanda). Praktisnya, alima bil ayah (mengetahui akan tanda/objek). Asumsi ini diperkuat dengan firman Allah dalam surat al-Mujaadilah [58], “Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apa bila dikatakan: Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Karenanya, kata “ilmu” dapat dipahami sebagai pengetahuan biasa, atau lebih dari itu. Hanya saja kata “ilmu” kemudian berkembang menjadi suatu etos. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW “Carilah ilmu, walaupun di negeri China"; “Ilmu adalah harta yang hilang dari kaum beriman”, dan lain lain.
Ketiga, istilah pengetahuan. Istilah ini terdapat dalam bahasa Indonesia sehari-hari. Akar katanya “tahu” yang kemudian diberi awalan “pe” dan akhiran “an". Persoalannya kemudian menyangkut padanan kata “ilmu” dan “pengetahuan” dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Apakah “ilmu” dipadankan dengan “science” (Inggris) atau wissenschaft (Jerman) atau wetenschap (Belanda). Juga apakah pengetahuan itu merupakan padanan dari knowledge (Inggris)? Jawabannya ternyata belum ada kesepakatan. Sebagian mengatakan bahwa, ilmu dipadankan dengan science. Padanan ini lebih disandarkan kepada ilmu-ilmu yang bermuatan eksakta, ilmu pasti dan ilmu alam an sich. Sedangkan ilmu sosial ataupun ilmu humaniora tidak termasuk kategori wilayah science. Sebagian lagi berpendapat bahwa pengetahuan dipadankan dengan knowledge, yang dalam bahasa Arab berpadanan dengan ‘ilm. Dan sebagian lain, ada yang menganggap bahwa sekaligus “ilmu pengetahuan” diterjemahkan dengan science.
Perbincangan kata "ilmu” menjadi lebih menarik, manakala sebuah slogan “Islamisasi ilmu pengetahuan” hadir di bursa kemodernan. Dalam bahasa Arab, jargon “Islamisasi ilmu pengetahuan” dipadankan dengan “Islamiyyatul ma’rifah”, bukan “islamiyyatul ilmi”. Dari padanan ini timbul pertanyaan baru, mengapa islamiyyatul ma’rifah, bukan islamiyyatul ilmi? Pertanyaan ini secara tidak langsung menempatkan posisi ma’rifah dalam bentuk profan. Dengan kata lain, posisi ilmu lebih religius dari ma’rifah. Permasalahannya, benarkah dugaan ini? Untuk menguji keabsahan kedua istilah ini, kita merujuk kepada Al-Qur’an. Kata ”ilmu" ternyata banyak disebut, yaitu sebanyak 105 kali dan kata jadiannya 744 kali. Secara rinci, ‘alima (35), ya’ lamu (215), i’lam (31),yu’lamu (1), ‘ilm (105), alim (18), ma’lum (l3), ‘alamin (73), ‘alam (3), a’lam (49), alim atau ulama (163), allam (4), a’llama (12), yu’llimu (16), ‘ulima (3), mu’allam (1) dan ta’allum (2).
Ungkapan islamisasi ilmu pengetahuan pada mulanya dicetuskan oleh Prof. Sayed Muhammad al-Naguib al-Attas pada 1977. Sebelumnya almarhum Ismail Raji al-Faruqi mengintrodusir tulisan mengenai islamisasi ilmu-ilmu sosial. Jika al Faruqi mengembangkan islamisasi ilmu pengetahuan pada ilmu-ilmu sosial, maka al-Attas mengembangkan islamisasi ilmu-ilmu humaniora. Al-Faruqi mengembangkan proyeknya lewat lembaga The International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang berpusat di Washington DC, Amerika, sedangkan al-Attas mengembangkan proyeknya melalui The International Institute of Islamic Thought and Civilization (IIITC) yang bermarkas di Kuala Lumpur, Malaysia. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman, khususnya menyangkut metodologi keislaman telah muncul sebelum al-Faruqi dan al-Attas dalam karya-karya Sayyed Hosein Nasr berjudul The Encounter of Man and Nature.
Menurut al-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains, sastra, seni, dan lain-lain dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam dengan ketiga sumbu tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan sejarah.
Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam, yaitu ketunggalan umat manusia, ketunggalan umat manusia dan penciptaan alam semesta kepada manusia dan ketundukan manusia kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan menentukan presepsi dan susunan realita. Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu: (i). Menguasai disiplin-disiplin modern; (ii) Menguasai khazanah Islam; (iii) Menentukan relevensi Islam yang spesiflk pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern; (iv) Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan modern; dan (v) Mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut, al-Faruqi mengemukakan beberapa langkah-langkah yang perlu dilakukan, sebagai berikut:
a. Memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistem baru yang terpadu itu dapat memperoleh keuntungan dari sistem sistem terdahulu. Perpaduan kedua sistem ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistem, seperti tidak memadainya buku dan guru yang berpengalaman dalam sistem tradisional dan peniruan metode-metode ideal Barat sekuler dalam sistem yang sekuler.
b. Menganjurkan untuk mengadakan pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian dari program studi siswa. Hal ini akan membuat para siswa merasa yakin kepada agama dan warisan mereka, dan membuat mereka menaruh kepercayaan kepada diri sendiri sehingga dapat menghadapi dan mengatasi kesulitan mereka di masa kini atau melaju ke tujuan yang telah ditetapkan Allah. Bagi al-Faruqi, Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan Muslim. Karena menurutnya apa yang telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam saat ini sangatlah tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna dan jelas bercorak Barat, dan karena itu tidak berguna sebagai model untuk pengkaji dari kalangan Muslim.
c. Penguasaan disiplin ilmu moderen, termasuk penguraian ilmu-ilmu tersebut. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategori prinsip, metodologi, problema, dan tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan kategori, prinsip, problema, dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat. Ini dimaksudkan untuk menghindari kerancuan dan kesalahan dalam menerapkan istilah-istilah teknis yang diproduksi oleh kultur Barat.
d. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan terkait asal usul dan perkembangannya, pertumbuhan metodologisnya, serta perluasan cakrawalanya. Langkah ini bertujuan memperjelas pemahaman Muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
e. Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi di sini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir Muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
f. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisis. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisis dari perspektif masalah-masalah yang berkembang pada masa kini.
g. Penentuan relevensi spesilik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan; (i) apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur’an hingga pemikir-pemikir kaum modernis dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin modern; (ii) seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut; dan (iii) apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum Muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
h. Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisis dari titik pijak Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisis dengan merumuskan relevansi kontemporernya.
i. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial ekonomi, intelektual, kultural, moral, dan spritual dari kaum Muslim.
j. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama yang difokuskan pada seluruh umat manusia.
k. Analisis kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana Muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin modern, serta untuk menjembatani jurang kemandegan yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dari sini khazanah pemikiran Islam harus disambung dengan prestasi-prestasi modern, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas daripada yang sudah dicapai disiplin-disiplin modem itu sendiri.
l. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dalam hal ini keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin modern ditulis kembali dalam cetakan dan model penulisan islami.
Dari langkah langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas, tampaknya langkah islamisasi ilmu yang digagas oleh al-Faruqi pada akhirnya merupakan usaha menuangkan kembali khazanah terbaik pengetahuan Barat ke dalam kerangka Islam. Kerja islamisasi ilmu pengetahuan seperti ini sudah barang tentu mendapat tantangan dari berbagai pihak, walaupun banyak pihak yang mendukungnya. Ada yang menanggapinya secara positif bahkan menjadikannya sebuah lembaga. seperti 111T, dan tidak sedikit pula meresponinya dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan oleh cendikiawan lainnya, yang menganggapnya sebagai proyek sia-sia dan tidak kreatif. Untuk itu konsep islamisasi ilmu pengetahuan perlu dilihat dalam kerangka pemikiran secara keseluruhan agar tidak menimbulkan kerancuan.
Kritik Al-Attas terhadap Islamisasi yang dilakukan Al-Faruqi, bahwa Al-Faruqi hanya melakukan Islamisasi ilmu kontemporer saja, dan tidak melakukan rekonstruksi atas ilmu. Proses Islamisasi harus melakukan dua langkah utama, yaitu proses verifikasi dan proses penyerapan dengan batasan-batasan tertentu. Proses Islamisasi adalah proses sintesis seperti dilakukan Al-Faruqi. Sintesa dapat dilakukan ketika konsep-konsep Barat telah disaring dan direduksi unsur-unsurnya. Yang paling penting, lanjut Al-Attas, Islamisasi Al-Faruqi mengecilkan peran tassawuf. Bagi Al-Attas, tassawuf adalah cara yang harus pula dilakukan untuk menyelamatkan manusia dari empirisme, pragmatisme, materialisme, dan rasionalisme sempit yang merupakan sumber utama sains modern. Masuknya konsep tassawuf menurut Al-Attas akan memberi arah yang benar pada kesatuan jiwa, akal, intuisi dan spiritualitas.
Bagian akhir dari konsep Kalam al-Faruqi akan melihat hubungan tauhid dengan konsep politik yang digagasnya. Menurut al-Faruqi, ummah adalah agen rekontruksi atau pembaruan dunia untuk memenuhi kehendak Ilahi. Ia adalah wakil (khalifah) Tuhan di alam raya. Di tengah berkembangnya Negara-negara nasional di dunia Islam dewasa ini, al-Faruqi masih mengagungkan gagasan Pan Islamismenya. Ia sependapat dengan perkembangan nasionalisme yang berkembang sekarang ini, yang disinyalir telah membuat umat Islam terpecah belah. Baginya khilafah adalah bentuk negara Islam yang paling sempurna. Khilafah adalah prasyarat mutlak bagi tegaknya para digma Islam di muka bumi. Secara internal, khilafah adalah induk dari segala institusi di mana ia menguatkan syariah. Secara ekstemal khilafah dapat merespons untuk kebaikan dan keamanan umat serta mengajak manusia berbuat untuk Tuhannya. Melalui khilafah ini, negara-negara Islam yang ada sekarang ini akan menjadi provinsi yang federal dari sebuah khilafah yang bersifat universal.
Menurut al-Faruqi, kekhalifahan adalah suatu kesepakatan tiga dimensi, yaitu, pertama, kesepakatan wawasan yang merupakan komunitas pikiran dan kesadaran; kedua, kesepakatan kekuatan sebagai komunitas kehendak dengan dua komponen, ashabiyah (sensus komunitas) dan kepatuhan yang padu terhadap Tuhan; ketiga, kesepakatan tindakan yang merupakan pelaksanaan dari kewajiban yang timbul dari ijma’.
Dengan terbentuknya kekhalifahan, keragaman tidak berarti akan lenyap karena khalifah akan bertanggung jawab melindungi keragaman. Khalifah bahkan wajib melindungi pemeluk agama agama lain, seperti Kristen, Yahudi, dan sebagainya. Bagi al-Faruqi negara yang islami berpijak pada nilai-nilai universalisme, kedaulatan, kebebasan, dan komprehensivitas.
1. Universalisme
Negara Islam tidak terikat oleh suatu tanah atau seseorang. Membatasi negara pada tanah tertentu tidaklah perlu dan tidak universal. Tentu saja negara Islam harus memiliki tanah dan rakyat, serta mengupayakan bumi dan keseluruhannya. Negara Islam berupaya memberi setiap golongan hak-hak dan kewajiban sebagai warganya. Negara Islam memiliki rakyat, tetapi rakyat ini tidak berdasarkan kelahiran, warna kulit, ras ataupun budaya.
2. Kedaulatan
Kedaulatan adalah kekuatan kekuatan mutlak bersama untuk menentukan serta menjadikannya sebagai ukuran puncak perilakunya terhadap mereka dan negara-negara lain. Dalam Islam kedaulatan itu adalah kepunyaan Allah. Dialah yang berhak atau yang berkuasa menentukan kebaikan manusia dan semua makhluk, karena semua makhluk adalah milik-Nya. Pemimpin atau khalifah negara Islami adalah pelaksana yang ditunjuk oleh ahli hukum untuk memimpin rakyat dan melaksanakan hukum Allah. Kedaulatan bukanlah milik kelompok, atau golongan tetapi ia adalah milik hukum yang menentukan segala hal di dalam dan di luar, dan dibalik itu adalah milik Tuhan.
3. Kebebasan
Hakikat beragama Islam adalah menyadari bahwa kita adalah hamba Allah. Hal ini bertolak dari makna kemakhlukan manusia dengan semua makhluk yang lain. Manusia mempunyai kebebasan dan dapat berbuat apa saja, selain memenuhi kehendak ilahi. Kebebasan manusia yang merupakan karunia termahal dari Allah adalah syarat untuk pengabdian manusia kepada-Nya.
4. Komprehensivitas
Negara Islam yang telah berdiri di Madinah adalah sebuah negara ideologis, ia memiliki jalur pandangan Islam yang ia pandang sebagai alasan dan tujuan kemajuannya. Tentunya konstitusi negara Islami selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Maka pada titik ini masalah-masalah yang menyangkut perjanjian Madinah hanyalah masalah masalah awal dan mendasar tentang keselamatan dan kesetiaan yang perlu dipupuk dan dikembangkan.
5. Peranan Hukum.
Di dalam khilafah, kedaulatan terletak bukan di tangan individu, tetapi ada di tangan Tuhan. Hakimiyah Tuhan itu terwujud melalui syariah. Hanyalah Allah semata yang mempunyai “hakimiyah” dan kemampuan untuk menentukan kebaikan bagi seluruh manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Pada kenyataannya, kekhalifahan dibangun untuk membuat warga negara dapat memenuhi perintah Tuhan. Oleh karena itu, tidak dapat diterima adanya pemisahan antara negara dengan fungsi kepatuhan kepada perintah, kemauan dan kehendak Tuhan. Tetapi demikian, hal itu tidak membuat kekhalifahan menjadi sebuah negara theokracy, negara di mana Tuhan berkuasa melalui seorang wakil atau kelompok orang tertentu.
BAB III
PENUTUP
Ismail Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Ianuari 1921. Dikenal secara luas sebagai ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Tokoh yang juga dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme ini memulai studi di College Des Freres Libanon. Pada 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang filsafat diperoleh dari universitas tersebut pada usia 20 tahun.
Al-Faruqi adalah ilmuan yang produktif. Ia berhasil menulis lebih dua puluh buku dan seratus artikel. Di antara bukunya yang terpenting adalah Tauhid its Implications for Thought and Life (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara lengkap yang tidak hanya dipahami sebagai ungkapan lisan, tetapi dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik, sosial, dan budaya. Dari sini kita dapat melihat titik tolak pemikiran al-Faruqi yang memiliki pengaruh pada pemikirannya pada bidang-bidang lain. Pemikiran Kalam Ismail Raji Al-Faruqi meliputi tauhid, tauhid dan relasi sosial, serta tauhid dan islamisasi ilmu pengetahuan.
Dari pemaparan konsep-konsep tersebut, kita sesungguhnya tengah berhadapan dengan tokoh yang sangat bersahaja dalam pengembangan pemikiran Islam kontemporer. Gagasan yang dilahirkannya dalam rangka memecahkan persoalan yang dihadapi umat Islam. Kebesarannya dapat dilihat dari pergulatan langsung saat dirinya berhadapan dengan Barat. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kemudian muncul ide-ide brilian untuk menghadapi serangan-serangan tersebut. Idenya tidak terlepas dari konsep tauhid, karena tauhid adalah esensi Islam yang mencakup seluruh aktivitas manusia. Begitu pula idenya tentang Islamisasi, tidak terlepas dari pro dan kontra dan telah membawanya pada puncak kebenaran di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Nunu. Ilmu Kalam, dari Tauhid Menuju Keadilan: Ilmu Kalam Temantik, Klasik, dan Kontemporer. Depok: Prenadamedia Group, 2018.
Farida, Umma. “Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Tentang Tauhid, Sains, dan Seni”. Fikrah, (2014), Vol. II: 2017-227.
Syarif, Miftah. “Islamisasi Ilmu Al-Faruqi dan Al-Attas: Studi Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam”. ResearchGate (online), 2007, (http://www.researchgate.net/publication/320944774_ISLAMISASI_ILMU_AL-FARUQI_DAN_AL-ATTAS_Studi_Perbandingan_Pemikiran_Pendidikan_Islam, diakses 8 November 2018).
Tidak ada komentar untuk "Pemikiran Kalam Ismail Raji Al-Faruqi"
Posting Komentar